GELORA.CO - Harta kekayaan dari 70 persen lebih penyelenggara negara yang bertambah selama pandemi Covid-19 merupakan hal yang aneh. Bahkan telah melanggar etika pelayan publik karena pejabat tambah kaya di tengah rakyat menderita.
Begitu yang disampaikan analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap harga kekayaan para penyelenggara negara.
Menurut Ubedilah, catatan KPK tentang jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan merupakan sinyal penting atau tanda-tanda bermakna.
Menurutnya, jika kekayaan pejabat negara itu bertambah karena ada bisnis lain selain pekerjaannya sebagai pejabat negara, maka tersebut adalah wajar.
“Tetapi, mungkin kita juga patut bertanya bisnis apakah yang mendapat keuntungan miliaran rupiah dalam satu tahun ini di tengah pandemi Covid-19? Bisnis vaksin kah? PCR test? Test Antigen? Alat kesehatan kah? Atau batubara dan kelapa sawit yang harganya sedang bagus?” tanya Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa pagi (14/9).
Yang jelas, lanjut Ubedilah, para pejabat tambah kaya di tengah rakyat menderita dan di tengah kondisi ekonomi memburuk.
"Bahagia di atas derita rakyat banyak," sambungnya.
Secara politik, hal tersebut merupakan fenomena yang bisa dibaca sebagai persoalan etika politik. Mestinya, pejabat negara menghindari perilaku mengambil keuntungan di tengah penderitaan rakyat.
"Pejabat publik adalah pelayan publik bukan pengusaha. Inilah problem etik serius jika penguasa juga berprofesi sebagai pengusaha. Mereka cenderung mengabaikan etika sebagai pejabat negara, pejabat publik," pungkas Ubedilah.(RMOL)