GELORA.CO - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melarang pedagang memajang kemasan/bungkus rokok di tempat penjualan.
Hal tersebut merupakan salah satu poin Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok.
"Tidak memasang reklame rokok atau zat adiktif baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor), termasuk memajang kemasan/bungkus rokok atau zat adiktif di tempat penjualan," dalam seruan tertanggal 9 Juni 2021 tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Dewan Penasehat Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menilai, kebijakan tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, kebijakan itu seakan-akan menyudutkan minimarket sebagai penjual rokok terbesar.
"Ya saya kasian dengan teman-teman pemain minimarket aja. Mereka kan spesifik menjual produk keseharian. Jadi saya kira garis besarnya yang saya sampaikan adalah janganlah sesuatu yang memang industrinya ada dan izinkan, aturan yang memang ada jangan berlebihan," kata Tutum kepada detikcom, Selasa (14/9/2021).
Dia mengatakan, aturan ini sebagai kreativitas pemerintah daerah dan tidak mendasar. Hal itu berkaitan dengan aturan bahwa rokok sebagai barang yang diizinkan diperjual belikan secara Undang-undang dan di sisi lain pemerintah mendapatkan pendapatan dari cukai rokok.
"Sorry aja lebih vulgarnya loh kenapa nggak pabrik rokoknya yang sekalian ditutup gitu. Kita hanya ingin mendudukan persoalan secara pas dan tepat. Negara yang mendapatkan cukainya kok negara dalam hal ini Pemda melarang-larang untuk dijual," ungkapnya.
Dia mempertanyakan, mengapa hanya minimarket yang menjadi sasaran penutupan oleh petugas. "Kalau kami ingin pertanyakan kok hanya di kami minimarket. Padahal kalau di kami yang di minimarket pangsa pasarnya hanya 5% dari seluruh penjual rokok. Terus 95% nya gimana? Di warungan itu harus ditutup juga?," sambungnya.
Tutum menambahkan, selama ini aturan mengenai penjualan rokok telah diatur dalam Undang-undang salah satunya terkait penggunaan untuk usia di atas 18 tahun. Menurutnya, jika ingin dilakukan pembatasan maka bukan dari penjualan yang dibatasi namun dengan cara lain.
"Penyebarannya kan yang harus dibatasi. Barang yang diawasi 18 plus kan, cukup segitu. Dan tata cara periklanannya pun di atur bahwa di jam sekian yang ditonton oleh publik di atas jam 10 contohnya. Di media jalan utama juga tidak boleh memasang iklan ini (rokok). Kan semua ada aturan mainnya," jelasnya.
Selama pemerintah memberikan izin pada industri rokok, dia menilai, satu-satunya yang bisa dilakukan pemerintah untuk membatasi penggunanya adalah dengan gencar melakukan kampanye anti rokok.(detik)