OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
BERKAITAN dengan pernyataan Megawati Soekarnoputri perihal makin berkurangnya kemunculan tokoh dari Sumbar di kancah nasional, Kantor Berita Politik RMOL.ID mengutus wartawan khusus kami Henrykus Sihaloho melakukan wawancara di kediaman beliau di Jalan Teuku Umar No. 27, Menteng, Jakarta Pusat.
Mengingat wawancara (imajiner) yang berlangsung kemarin ini hanya sebatas mendengar komentar beliau di seputar hiruk-pikuk pascaucapan beliau di atas, laporan ini kami tampilkan dalam bentuk mengutip langsung pernyataan beliau.
“Terus terang, saya berterima kasih atas kedatangan Anda. Tadinya saya sudah berencana mengundang wartawan RMOL.ID, eh tak tahunya kemarin sore Pemimpin Redaksi Widian Vebriyanto menanyakan kesediaan saya untuk menerima Anda. Pucuk dicinta, ulam tiba. Untuk mengapresiasi ini, kalau biasanya saya lebih banyak diam, kali ini tidak.
Banyak orang suka lupa, termasuk para wartawan, kalau dalam darah saya mengalir darah Minang dari ibu saya, sama seperti mendiang suami saya, yang dari garis ibunya, ibu mertua saya, juga berdarah Minang. Karena orang Minang sebagai suku terbesar di dunia yang menganut matrilineal, yang aturan adat masyarakatnya mengikuti garis keturunan dari pihak ibu, tentu dengan sendirinya kami berdua adalah orang Minang.
Jadi tidak mungkin saya alergi pada orang Minang. Orangtua ibu saya merupakan keturunan keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kakek saya adalah tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Sampai sekarang orang cenderung mengingat selisih paham antara BK dengan Bung Hatta. Mereka lupa, dari segi personal, hubungan mereka tetap baik hingga akhir hayat BK. Saya tetap mengenang kesediaan Bung Hatta menjadi wali nikah kakak saya Guntur.
Ketika Bung Hatta sakit, BK menjenguknya ke rumah sakit dan meminta kesediaan Bung Hatta berobat ke Swedia atas biaya negara. Dua hari sebelum BK meninggal, giliran Bung Hatta yang menjenguk.
Soal selisih paham, saya kira itu soal biasa. Adik saya Guruh, meski kader PDI Perjuangan, sangat berkeberatan saya memberi mandat kepada Jokowi pada 14 Maret 2014 itu karena menurutnya Jokowi belum paham betul ajaran BK. Menurut Guruh, Jokowi masih perlu belajar banyak tentang paham Soekarno.
Dia menilai pencapresan Jokowi terlalu dini. Jokowi masih baru 20 persen dari masa baktinya sebagai gubernur. Guruh menegaskan, Jokowi masih harus belajar banyak sebelum memimpin Indonesia. Seorang Presiden harus memiliki wawasan yang luas.
Selain itu, Jokowi juga harus punya pengetahuan tentang politik nasional dan internasional. Soal pemberian mandat ini, sepertinya mendiang suami saya pun akan keberatan seandainya beliau masih hidup.
Hari-hari ini saya merenungkan dalam-dalam perkataan Guruh di tengah pandemi yang telah memorakporandakan segalanya. Di masa seperti ini kita bisa lihat kualitas kepemimpinan. Kita bisa lihat, ada pemimpin yang suka memakai tangan orang lain, tidak peduli apakah orang yang dia pakai itu benar atau salah, mampu atau tidak.
Ironisnya, dia menjadi tergantung pada orang lain. Pemimpin seperti itu sampai tidak sadar bahwa dia bukan lagi pemegang kendali karena dininabobokkan dengan kata-kata ‘dia ditempatkan sebagai panglima tertinggi.’
Mudah-mudahan di saat seperti ini dia tidak sedang lepas tangan karena kebingungan harus berbuat seperti apa.
Untung masyarakat kita pemaaf. Mereka diam saja melihat pemimpinnya yang cenderung mengambil langkah buru-buru.
Belum ada bukti tentang obat antimalaria chloroquine sebagai obat Covid-19, langsung beli obat itu. Beli vaksin pun seperti itu. Entah dapat masukan dari mana. Entah sudah dikaji atau belum. Sudah ratusan miliar, mungkin triliunan rupiah, kita buang uang. UU Nomor 2 Tahun 2020 dijadikan senjata.
Setelah merenungkan dalam-dalam, sambil berintrospeksi, adik saya menyadarkan saya dari tidur panjang saya yang tanpa terasa sudah lebih dari 6 tahun sejak pemberian mandat itu. Hari-hari ini menyongsong hari kemerdekaan kita yang ke-76 saya kembali teringat dengan dua proklamator kita.
Keduanya, yang disebut dwitunggal itu, menurut hemat saya merupakan dua pribadi yang saling melengkapi. BK merupakan sosok yang revolusioner, sementara Bung Hatta seorang yang kaya gagasan, matang dalam konsep, namun lebih banyak diam. BK pun sesungguhnya kaya dengan konsep.
Buktinya, ya Pancasila, ya Trisakti itu. Kita bangga justru paham ini hidup dan berkembang di Kuba.
Saya tadinya berharap banyak pada Jokowi bisa membumikan Trisakti. Sekarang ini kita semakin menggantungkan diri pada negara lain. Kita semakin miris karena pemimpin kita, seperti sudah saya katakan, juga bergantung pada orang lain.
Semoga saja orang itu tidak memanfaatkannya untuk keuntungan diri dan kelompoknya. Yang lebih menakutkan rakyat, bila pemimpin yang kita maksud tadi diam-diam mengambil keuntungan pribadi juga.
Nah, kembali ke sosok BK dan Bung Hatta. Sebagai mantan Presiden dan kini sebagai pemimpin partai yang mewarisi ajaran BK, saya harus memiliki legacy. Saya kini rajin mencari figur yang menjiwai secara mendalam ajaran BK sekaligus ajaran Bung Hatta.
Ingat lho, dalam konsep “berdikari secara ekonomi” terkandung juga ajaran Bung Hatta soal perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Di dalam konsep itu ‘kan terkandung kegotongroyongan. Saat berkunjung ke Bukittinggi, saya melihat dan merasakan nuansa kegotongroyongan dan nuansa tradisi keislaman yang amat kental itu.
Sekarang sudah jelas, itu inti dari yang saya katakan. Ada sosok yang bisa mengawinkan ajaran BK dan Bung Hatta sekaligus. Sejujurnya, sebagai orang yang berdarah Minang dan yang merindukan figur dwitunggal, itu bisa muncul dalam diri seseorang, tentu sosok itu saya lirik lebih dulu pada orang Sumbar.
Saya memang akan melayangkan pandangan ke mana-mana. Tapi ‘kan tidak salah bila saya melayangkan pandangan pertama saya ke orang Sumbar. Saya pun melayangkan pertanyaan saya ke Buya Syafii, yang sehari-harinya bersama saya di Dewan Pengarah BPIP.
Sebelum menutup bincang-bincang kita, apa wartawan kira saya tidak tahu beliau mengkritik buzzer? Itu saja dulu penjelasan saya. Sekali lagi, terima kasih sudah bersedia menjadi pendengar yang baik.”
(Penulis adalah pemerhati sosial politik; Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan)