GELORA.CO - Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) atau dengan istilah Human Right Defender (HRD) kerap mendapat intimidasi maupun kekerasan ketika sedang melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Teranyar, hal itu terjadi pada Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Ni Kadek Vany Primaliraing yang dilaporkan ke Polda Bali atas tuduhan dugaan makar karena memberikan bantuan hukum kepada mahasiswa Papua.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forum Asia, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang kerap terjadinya kasus kekerasan terhadap pembela HAM. Dalam hal ini, Indonesia berada di bawah India, Filipina, China, dan Vietnam.
"Indonesia berada di peringkat kelima terkait jumlah kasus pelanggaran terhadap pembela HAM di bawah India, Filipina, Cina, dan Vietnam," kata Senior Programme Officer Forum Asia, Benny Agus Prima dalam diskusi daring yang disiarkan akun Youtube KontraS, Kamis (5/8/2021).
Forum Asia melakukan riset sejak tahun 2019 hingga 2020 dan berhasil mendokumentasikan sebanyak 1.073 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM yang terjadi di 21 negara di Asia -- salah satunya terjadi di Tanah Air. Bahkan, pelanggaran atau kekerasan tersebut menyasar 3.046 pembela HAM termasuk anggota keluarganya dan organisasi atau komunitas masyarakat sipil lainnya.
Benny mengatakan, di Indonesia, selama dua tahun ke belakang, setidaknya terjadi 85 kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM. Hal itulah yang membikin Indonesia bercokol di peringkat lima terkait kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM.
"Di Indonesia, kasus yang berhasil kami monitoring atau dokumentasikan selama dua tahun belakangan ada 85 kasus pelanggaran terhadap pembela HAM," jelas Benny.
Dalam riset tersebut, lanjut Benny, Forum Asia merujuk pada empat poin sebagai indikator terjadinya kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM. Pertama, informasi harus kredibel, artinya informasi harus bersumber dari pembela HAM secara langsung, media yang kredibel atau laporan yang diterbitkan oleh masyarakat sipil.
Indikator selanjutnya adalah status korban yang harus teridentifikasi sebagai pembela HAM -- termasuk gender dan latar belakang etnik. Selanjutnya, pola kekerasan harus benar-benar spesifik.
"Kami harus mengetahui bahwa ada memang bukti kejadian, tanggal, lokasi yang pasti, dan bentuk serangan dan terakhir ada juga koneksi pekerjaan yang dilakukan HRD dengan pelanggaran yang dialami si pembela HAM," jelas Benny.
Dikatakan Benny, dari dokumentasi 1.073 kasus, separuhnya mencakup kasus judicial harassment -- pelanggaran dengan metode yudisial. Jumlah tersebut sudah mencakup penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dan proses hukum yang tidak semestinya.
Forum Asia juga mencatat adanya peningkatan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) alias bentuk tindakan pembungkaman partisipasi masyarakat dengan menggunakan instrumen hukum. Pola semacam itu, dilakukan oleh negara maupun aktor non negara.
"Seringkali ini terjadi atas pendapat yang berbeda, baik online maupun offline maupun saat demonstrasi," ujar Benny.
82 Orang Tewas
Benny mengatakan, bantuk pelanggaran atau kekerasan terhadap pembela HAM adalah intimidasi dan ancaman. Setidaknya ada 306 kasus di Asia yang terkait dengan pelanggaran tersebut.
Intimidasi dan ancaman ini seringkali mencakup ancaman pembunuhan. Dari catatan Forum Asia, ancaman itu juga berbentuk fitnah, framming dan serangan daring kepada pembela HAM --dan anggota keluarganya.
"Intimidasi dan ancaman meskipun bentuknya mungkin tidak senyata dari serangan fisik, tapi ini memberikan dampak atau ancaman serius bagi keadaan psikososial si pembela HAM," sambungnya.
Kekerasan fisik yang terjadi dalam 269 kasus yang terjadi di 21 negara di Asia mayoritas dilakukan oleh aktor negara, yakni polisi dan militer. Bahkan, terkadang pejabat dari level Pemda hingga berujung pada pembunuhan.
"Dari 71 kasus yang kami catat, merenggut nyawa setidaknya 82 pembela HAM," ucap Benny.
Dari catatan Forum Asia, Benny menyatakan jika kekerasan fisik -- khususnya pembunuhan -- biasanya didahuli dengan adanya ancaman, baik kepada pembela HAM maupun anggota keluarganya. Selain ancama pembunuhan secara langsung, ada pula pola-pola represi seperti meminta sang pembela HAM berhenti membicarakan suatu isu atau wacana.
"Dan itu ada di beberapa kasus yang ekstrem dan kami catat berujung pada pembunuhan," papar dia.
Aktivis Lingkungan Rentan jadi Sasaran
Kategori pembela HAM yang kerap menjadi korban pelanggaran dan kekerasan beraneka ragam. Salah satunya adalah pembela HAM pro demokrasi.
Pembela HAM pro demokrasi adalah mereka yang mendukung reformasi pemerintahan, demokrasi, dan isu politik lainnya. Kategori selanjutnya adalah perempuan pembela HAM, pembela HAM lingkungan, mahasiswa dan kelompok muda, serta LSM.
"Perempuan pembela HAM, saat dia sedang ditarget, bukan hanya karena kerja mereka untuk melindungi hak perempuan, tetapi status mereka sebagai perempuan," kata Benny.
Tak hanya itu, pembela HAM yang bekerja di isu lingkungan juga kerap menjadi korban. Apalagi mereka yang bekerja di akar rumput, yang lokasinya sangat jauh dari informasi dan ditelusuri keberadaannya.
"Karena kasusnya sulit untuk di dadapatkan infonya secara detail sehingga mereka menjadi kelompok yang rentan untuk ditarget," tambah dia.
Rekomendasi
Benny berpendapat, di Indonesia khsusunya, sangat penting adanya mekanisme perlindungan yang tidak hanya kuat, tapi juga holistik. Artinya, tidak hanya melihat peraturan saja --tapi aksinya tidak ada.
Perlindungan juga harus berfokus pada keamanan si pembela HAM itu sendiri. Menurut Benny, tidak hanya fisik dan digital, tapi kesejahteraan si pembela HAM.
"Kemudian pentingnya penguatan perlindungan kolektif untuk HRD dan ini kami temukan di pembela HAM lingkungan karena saat negara tidak dapat memberikan perlindungsn secara efektif," ungkap dia.
"Maka komunitas HRD, ini mereka membuat banyak inisiatif untuk memberikan perlindungan secara tepat dan kolektif," imbuh Benny.[suara]