GELORA.CO - Aparat di daerah yang diberikan kewenangan agar berhati-hati serta dengan petimbangan yang matang untuk mengambil satu tindakan hukum.
Misalnya dalam menindak mural yang berisi kritik terhadap penguasa, namun membiarkan mural yang lain jika tidak mengkritik. Hal ini justru akan menimbulkan reaksi di tengah masyarakat.
Demikian antara lain disampaikan pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat menjadi pembicara program Catatan Demokrasi, Selasa malam (17/8), soal mural bergambar mirip muka Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertuliskan 404: Not Found yang dihapus.
"Reaksi masyarakat seperti ada kekhawatiran nantinya. Kok penguasa ini paranoid sekali dengan kritik dengan kecaman dan lain-lain. Jadi sebetulnya kita harus hati-hati dalam menegakan hukum itu tadi," pesan Yusril.
Yusril kemudian mempertanyakan, mural-mural yang akhirnya dihapus tersebut apakah menimbulkan kekhawatiran penguasa sehingga melakukan reaksi yang dianggap berlebihan terhadap kritik.
"Lantas itu harus dihapus, apa kekhawatirannya? apa Presiden merasa khawatir terhadap hal seperti itu, semestinya kan tidak," ujar Yusril.
"Aparat hukum sebelum mengambil satu tindakan dia harus mengkaji, jangan sampai nanti menjadi boomerang, karena ini bagian dari kebebasan menyatakan pendapat," tambah Yusril menekankan.
Terkait Presiden merupakan lambang negara yang menjadi alasan aparat menghapus mural tersebut, Yusri meluruskan, dalam Pasal 36 a pada Undang Undang Dasar 1945 sudah sangat jelas diatur bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan perisai Bhineka Tunggal Ika. Walaupun, Yusri menyebut, secara politis dan sosiologis Presiden kerap dianggap sebagai simbol negara.
"Misalnya mengingatkan kalau Presiden hati-hati kalau bicara, jangan sampai salah omong karena anda simbol negara, tapi itu bersifat politis dan sosiologis, bukan omongan yang benar sesuai hukum dan konstitusi," demikian Yusril.(RMOL)