GELORA.CO - Adanya kebijakan PPKM yang diterapkan pemerintah mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat. Bahkan, kritikan untuk pemerintah muncul, seperti kritik pemerintah lewat mural yang kini bertebaran dimana-mana.
Namun, Kritik pemerintah lewat mural kini disebut-sebut dihapus. Salah satu mural yang hilang itu yakni sempat viral di jagat dunia maya bertuliskan ‘Tuhan Aku Lapar’.
Mural di sebuah tembok yang berada di pinggir jalan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten merupakan sebuah pesan dari masyarakat untuk pemerintah.
Menyadur dari Hops.id -jaringan Suara.com Sabtu (14/8/2021). Mural sepanjang 12 meter tersebut dicat dengan tulisan berwarna putih di sebuah tembok beton hitam. Namun keberadaan mural itu tidak bertahan lama. Karena tembok bertuliskan mural ‘Tuhan Aku Lapar’ itu langsung dicat seluruhnya berwarna hitam.
Tak hanya di Kabupaten Tangerang, Banten, soal mural ‘Tuhan Aku Lapar’, sebab sebuah gambar di sebuah tembok di Pasuruan, Jawa Timur, mendadak dihapus. Mural yang bertuliskan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’ itu juga sama, ikut viral di media sosial.
Namun tak lama lenyap dicat polos. Publik pun tentu bertanya-tanya, apa yang salah?
Sebelumnya diketahui, tulisan ini menjadi perhatian karena letaknya yang strategis di dekat rel stasiun Bangil. Fenomena pun muncul, kenapa masyarakat marak menuliskan coretan di tengah pandemi.
Kok mural Tuhan Aku Lapar dihapus
Terkait hal ini Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun angkat bicara. Menurut dia, memang agak cukup heran dengan fenomena dihapusnya mural viral ‘Tuhan Aku Lapar’ dan tulisan sejenis di berbagai wilayah.
Dia menyebut, bahwa setiap orang harus lihat secara paradigma antara kritik dan pujian itu punya nilai yang sama.
“Jangan sampai pemerintah dipuji mau tapi dikritik enggak mau. Itu soal substansinya, kebebasan orang nyatakan pendapat lisan, dan tulisan,” katanya.
Walau begitu, Refly tentu tak berburuk sangka. Dia ikut mempertanyakan apakah daerah itu memang merupakan daerah yang dilarang coret-mencoret karena alasan lingkungan. Atau justru sebaliknya, itu merupakan daerah yang masih boleh membuat mural seperti demikian.
“Harus pastikan dulu kalau tempat itu adalah tempat orang boleh sampaikan pesan, baik pujian atau kritik. Kalau kritik dihapus, pujian tak dihapus nah itu baru berarti ada inkonsistensi, berarti isi pesannya (yang salah),” katanya lagi.
Di kesempatan itu, Refly memang ikut mencurigai kalau ada unsur politik yang bermain di balik penghapusan mural dan sejenisnya di berbagai daerah. Ini berkaitan erat dengan petugas lapangan sampai petugas partai.
Tetapi yang digaris bawahi menurutnya, harus ada penjelasan secara tepat. Jangan sampai hanya sekadar subyektifitas yang tidak memiliki dasar hukum.[suara]