OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
Majalah Tempo edisi khusus tahun 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang. Di abad ini, Penulis kira fakta ini belum bergeser.
Saking banyaknya, bila menyebutkan satu per satu, kita pasti melewatkan banyak dari mereka, termasuk karena namanya berbau Jawa atau Eropah (konon sebagai dampak dari peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Sebut saja Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat ke-9. Begitu pula, Doni Monardo mantan Kepala BNPB atau mantan Ketua Satgas Covid-19. Meski lahir di pulau Jawa dan memiliki nama seperti orang Jawa, kedua beliau orang Minang asli.
Sebut lagi Philips Jusario Vermonte. Dosen dan peneliti senior, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies yang lahir di Manila, Filipina ini adalah seorang ilmuwan sosial dan politik ternama.
Jangan lupa si jelita Whulandary Herman. Pemenang kontes kecantikan Puteri Indonesia 2013 yang pernah mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe 2013 di Moskow, Rusia dan berhasil masuk 16 besar adalah perempuan Minang asli.
Begitu pula Komjen Pol. Purn. Suhardi Alius, mantan Kepala BNPT, yang pernah digadang-gadang menjadi calon Kapolri. Bila itu tadinya terjadi, ia menjadi orang Minang kedua yang menjadi Kapolri setelah Awaloedin Djamin.
Satu-satunya pasangan suami istri yang pernah menjabat Menteri Kesehatan adalah Prof. Dr. dr.. H. Faried Anfasa Moeloek dan Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek. Hebatnya, kedua orang Minang yang kebetulan gurubesar ini menjabat menteri di dua era yang berbeda (Orde Baru dan Orde Reformasi).
Ibu Nila bahkan hampir menjabat Menteri Kesehatan pada periode kedua Presiden SBY, sebelum akhirnya mendapat kepercayaan Presiden Jokowi di periode yang lalu. Bukan hanya itu, keluarga Moeloek merupakan dinasti dokter yang berhasil. Ayahnya, dr H. Abdul Moeloek yang berasal Padangpanjang, Sumatra Barat, mengelola rumah sakit di Bandarlampung, Lampung.
Prof. Yusril Ihza Mahendra dirunut dari keluarga ibunya memiliki darah Minang juga. Keluarga pihak ibunya berasal dari Aie Tabik, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Kita tidak mungkin lupa menyebut nama Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, seorang ulama besar dan cendekiawan Indonesia, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Penerima penghargaan Ramon Magsaysay pada 2008 dari pemerintah Filipina ini kini bersama Ibu Megawati menjadi Dewan Pengarah BPIP.
Nama besar lain adalah Azyumardi Azra, Rizal Ramli, dan Andrinof Chaniago. Sama seperti Rizal Ramli, Andrinof Chaniago menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Kabinet Kerja kurang dari satu tahun, yakni dari 27 Oktober 2014-12 Agustus 2015.
Penulis ingin menggarisbawahi pernyataan terakhir dari Ibu Megawati yang dimuat Kantor Berita Politik RMOL hari ini di bawah judul, “Megawati Heran Sumbar Tak Lagi Seperti Dulu”,
"Saya sampai bingung kenapa saya di-bully, padahal dari yang saya dapatkan sebuah pengertian itu ‘kan ada Bundo Kandung. Jadi itu yang maksud saya. Apakah itu sudah tidak berjalan lagi."
Sebelum mendisukusikan lebih jauh pernyataan Ibu Mega di atas, saya ingin mengutip empat alinea terakhir dalam tulisan Penulis di RMOL.ID 27 April 2021 yang lalu di bawah judul, “Reshuffle Jilid II pada Periode II Presiden Jokowi.”
Keempat alinea Penulis kutip secara utuh,”Presiden perlu menyadari, pemberian kesempatan yang kurang dari setahun telah melahirkan perundungan yang bertubi-tubi di media mainstream dan media sosial bagi yang bersangkutan".
Mengapa Penulis menyebut reshuffle jilid II akan jadi legacy yang tiada ternilai? Dari sisi orang yang mendapat kepercayaan, ini menjadi ajang pembuktian bagi mereka untuk menunjukkan kelasnya sehingga kemudian layak mencalonkan diri sebagai capres.
Dari sisi Parpol, Parpol berkesempatan memilih banyak kader terbaik bangsa dan menawarkannya kepada rakyat sehingga memiliki banyak pilihan dan tidak lagi memilih kucing dalam karung.
Dari sisi rakyat, rakyat mendapatkan anggota kabinet yang berkinerja baik yang membantu Presiden membawa Indonesia meraih kemajuan yang berarti meski di tengah pandemi Covid-19 yang sudah melahirkan krisis.
Dari sisi Presiden Jokowi, ini bisa menjadi ajang pembuktian terakhir bagi beliau bahwa beliau seorang yang berdaulat penuh memimpin negara berdaulat sebesar Indonesia, bukan wayang dari para cukong lokal dan asing, dan bukan pula boneka dari penjarah dan pengkhianat bangsa yang jangankan meninggalkan legacy, tetapi meninggalkan perundungan yang mungkin tiada henti hanya karena pernah mendapatkan kepercayaan kurang dari setahun.
Ibu Mega dalam pernyataan di atas menyebut kata “bully” (perundungan). Tulisan saya di atas menyebutnya dengan perundungan.
Kata kunci “perundungan” menarik untuk kita bahas. Hemat Penulis, meski menjabat kurang dari satu tahun, Andrinof Chaniago tidak mengalami perundungan sama sekali. Beda dengan Rizal Ramli. Malangnya, perundungan yang Rizal alami datang mengalir deras dari seabrek buzzerRp dan influenceRp yang tidak mungkin beliau respons satu per satu.
Sebagai seorang ibu yang memiliki kepekaan yang luar biasa dan jauh melampaui Penulis, tentu Ibu Mega tidak bicara perundungan sebatas begitu saja. Seperti BK, beliau ingin menjadi perekat bangsa. Siapa pun tidak akan ada yang membantah, beliau memainkan peran yang luar biasa merekatkan Jokowi dan Prabowo berikut para pendukung mereka.
Menyongsong proklamasi kemerdekaan kita yang ke-76, beliau ingin merajut kembali hubungan yang luar biasa mesra di antara semua komponen bangsa ala hubungan awal dua proklamator Bung Karno (BK) dan Bung Hatta, yang kebetulan putra Minang.
Harap dicatat, Ibu Mega sendiri telah mulai merajutnya melalui pernikahan beliau dengan almarhum Bapak Taufiq Kiemas yang dari garis ibunya mengalir darah Minang. Seperti kita ketahui, Taufiq Kiemas dan Rizal Ramli sama-sama pernah menjadi tahanan politik Orde Baru.
Bila dari awal Penulis sebatas mengusulkan Rizal Ramli dipercaya kembali menjadi menteri oleh Presiden Jokowi, akhir-akhir ini baru Penulis sadari keterbatasan Penulis. Ibu Mega jauh melampaui pikiran Penulis. Beliau sangat peka dengan perundungan yang dialami oleh Rizal Ramli.
Bila Penulis melihat ada ketidakadilan yang dilakukan secara tidak sengaja oleh Presiden Jokowi kepada dua putra terbaik Minang dengan memberi kepercayaan dalam waktu yang relatif singkat, Ibu Mega tentu tidak sedangkal Penulis.
Kini dengan olah batin yang singkat, Penulis melihat Ibu Mega sedang melakukan cek ombak demi mewujudkan cita-cita awal dari BK melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan gotong royong membumikan konsep Trisakti.
Cek ombak yang Penulis maksud adalah beliau ingin melihat respon publik bila beliau memberi mandat kepada Rizal Ramli untuk membangun negara kita dengan konsep Trisakti sehingga berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya.
Rupanya Ibu Mega kini merasa pemberian mandat yang lalu itu telah salah alamat dan makin lama makin melenceng jauh karena “bergotong royong” dengan orang yang tidak pas, bahkan cenderung memberi kepercayaan yang berlebihan.
Yang lebih memprihatinkan, pemberian kepercayaan diarahkan bukan kepada kader partai atau simpatisannya. Mungkin, yang paling merisaukan Ibu Mega adalah jangan sampai ada orang yang menafsirkan bahwa kaum nasionalis alergi dengan orang Minang sehingga hanya patut mendapat kepercayaan dalam waktu singkat saja.
(Penulis adalah pemerhati sosial politik; Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan)