GELORA.CO - Tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal dunia akibat wabah covid-19 nyaris menembus dua ribu jiwa. Angka kematian nakes itu menjadi yang tertinggi di Asia serta ketiga terbesar dunia.
Seorang dokter mengaku trauma dan sempat merasa kalah di tengah meroketnya kasus positif Covid-19 di Pulau Jawa pada Juni hingga Juli lalu.
Tapi apa yang harus kita bayar dengan kematian ribuan tenaga kesehatan itu di masa mendatang?
"Seandainya saya tidak disumpah dokter, saya lebih baik tidak memberikan pelayanan. Saya trauma dengan kehilangan banyak orang terdekat."
Mahesa Paranadipa memikul beban jiwa yang sangat berat akibat pandemi.
Sebab meski secara mental ia telah terlatih untuk tabah melihat ajal, tapi dia tak pernah menyangka bakal menghadapi begitu banyak kematian.
Apalagi kabar itu datang dari sejawat yang amat dekat.
"Benar-benar kehilangan, sampai sekarang benar-benar kehilangan," imbuh Mahesa Paranadipa kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (26/8).
Mahesa dan Kamarudin Askar sudah 12 tahun saling mengenal ketika sama-sama di organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kendati terpaut usia hampir dua puluh tahun, tapi kedekatan mereka lebih kental sebagai sahabat sekaligus kakak.
Maka begitu tahu Ketua IDI Cabang Kota Bekasi itu terinfeksi Covid-19, ia cemas. Sebab Kamarudin Askar memiliki komorbid berupa gula darah atau diabetes.
Hampir saban hari, ia menanyakan kondisinya.
Dari yang tadinya menjalani isolasi mandiri di rumah, akhirnya dilarikan ke ruang instalasi gawat darurat karena mengalami gagal napas. Tapi takdir sudah di tangan Tuhan, imbuh Mahesa.
Pada 6 Juli 2021, Kamarudin Askar meninggal.
"Secara mental kami sudah terlatih untuk menghadapi itu [kabar kematian]. Tapi menerima kabar kematian dari beliau rasanya, sedih. Tetap sedih."
"Dokter bagaimana pun bukan Superman, bahwa dia paling kuat. Dokter juga manusia," kata Mahesa.
Perasaan kalah, sempat menghantamnya saat itu, di tengah meroketnya kasus positif Covid-19 di Pulau Jawa pada Juni hingga Juli lalu.
Selama beberapa hari, kasus positif di Indonesia tercatat antara 40 ribu hingga 56 ribu.
Pasien terkapar di halaman parkiran rumah sakit atau terpaksa ditolak karena tidak ada tempat tidur yang tersedia, hampir terjadi di sejumlah fasilitas kesehatan di Pulau Jawa.
"Karena kami dokter ditugaskan dan disumpah untuk bisa membantu orang dan ketika melihat banyak kematian, terbesit perasaan... Rasanya enggak ada manfaat jadi dokter, kok banyak yang meninggal, banyak yang dirawat..."
'Kita harus membayar mahal atas kehilangan ribuan nakes'
Per 17 Agustus 2021, tercatat ada 1.891 tenaga kesehatan yang meninggal sepanjang pandemi Covid-19.
Rinciannya 640 dokter; 637 perawat; 377 bidan; 98 dokter gigi; 34 ahli gizi; 33 ahli teknologi laboratorium, dan 13 ahli kesehatan masyarakat.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, mengatakan Indonesia kehilangan aset yang begitu besar atas gugurnya ribuan nakes.
Yang juga sangat disayangkan, banyak guru besar atau dokter spesialis senior tutup usia.
"Kita benar-benar harus membayar mahal atas kehilangan tenaga kesehatan ini. Itu mengapa sejak awal kami menyerukan perkuat perlindungan terhadap tenaga kesehatan," tegas Dedi.
Para dokter spesialis senior itu tak bisa tergantikan dalam hal pengalaman dan pengetahuan, kata Dedi. Meskipun ada ribuan lulusan dokter baru.
"Tahun depan ada pasti ada lulusan dokter dan perawat baru tapi yang susah membayar pengalaman dan profesionalisme. Butuh waktu pastinya."
Apa dampak gugurnya ribuan tenaga kesehatan?
Dedi Supratman menilai angka kematian tenaga kesehatan semestinya "bisa ditekan" jika sedari awal pemerintah memberikan perlindungan ekstra kepada mereka.
Mulai dari menyediakan alat pelindung diri (APD), vitamin, obat-obatan, dan tes berkala Covid-19.
Tapi nyatanya di lapangan, sejumlah rumah sakit mengeluhkan kekurangan masker dan jas pelindung diri atau hazardous materials suit (hazmat). Sehingga para dokter terpaksa membeli sendiri dan menerima sumbangan dari publik.
Tes Covid-19 pun baru dilakukan jika si nakes mengalami gejala.
"Ini [angka kematian nakes] tidak wajar. Harusnya bisa ditekan."
Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi IDI, Mahesa Paranadipa, membenarkan pernyataan itu.
Ia bercerita, di masa awal pandemi, para dokter sempat berkonflik dengan manajemen rumah sakit swasta karena tidak bisa menyediakan alat pelindung diri (APD).
Hingga akhirnya beberapa dokter membeli dengan kocek pribadi.
"Itu situasinya mengkhawatirkan. Para dokter berusaha menjaga dirinya. Sebab mereka tidak mau menularkan virus itu kepada keluarga," imbuh Mahesa.
Di tengah situasi itu para tenaga medis, menurut Guru Besar Pulmonologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Menaldi Rasmin, mengalami keletihan luar biasa yang membuat daya tahan tubuh mereka merosot sehingga gampang terinfeksi virus Corona.
"Lelah karena jumlah kasus kasus sempat turun tapi naik lagi. Ibarat perang enggak habis-habis. Capek kan?"
"Dokter dan perawat termasuk profesi yang selama 1,5 tahun ini tidak boleh cuti. Istirahat pun kalau positif Covid-19. Setelah sembuh, kerja lagi."
Gugurnya ribuan nakes itu pun, sudah pasti akan berdampak pada layanan kesehatan masyarakat.
Yakni akses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi terbatas karena jumlah tenaga kesehatan semakin berkurang.
"Jadi akses publik untuk mendapatkan kesehatan, turun. Karena dokter dan perawat sedikit," jelas Prof Menaldi Rasmin.
Idealnya dokter dalam memberikan pelayanan adalah 1 banding 1.000 penduduk, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi di Indonesia rasio dokter dan penduduk adalah 4 banding 10.000.
Jumlah itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduk.
Sementara mencetak satu dokter membutuhkan waktu lama, kata Menaldi.
"Dokter umum saja butuh sembilan tahun. Dokter spesialis 14 tahun."
Namun lebih dari itu, Dedi Supratman, khawatir dalam jangka panjang distribusi tenaga kesehatan antara di kota-kota besar dan daerah terpencil akan semakin timpang.
"Saat ini saja, kita ada masalah kuantitas. Di beberapa tempat yaitu kota besar terpenuhi. Tapi di daerah-daerah terpencil, sulit. Kalau kondisi sekarang ketersediaan nakes tidak ditambah, dan banyak yang wafat, akan semakin timpang di daerah-daerah terpencil."
"Kalau nakesnya enggak ada, siapa yang akan menjalankan fungsi layanan kesehatan?"
Seperti apa solusi pemerintah?
Sekretaris Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) di Kementerian Kesehatan, Trisa Wahjuni Putri, mengakui para guru besar atau dokter spesialis yang meninggal "tak bisa tergantikan" secara instan.
Namun demikian kementerian sudah membuat perencanaan untuk mengisi kekosongan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
Semisal, segera mendistribusikan dokter lulusan baru atau berstatus Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) tingkat akhir ke rumah sakit yang mengalami kekurangan.
"Jadi kita replace dengan yang baru," ujar Trisa Wahjuni kepada BBC News Indonesia.
Begitu pula dengan perawat. Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Politeknik Kesehatan untuk "mendayagunakan" mereka yang sudah lulus uji kompetensi dan tinggal mengurus sertifikat kompetensi.
Dalam jangka panjang Kementerian bakal meningkatkan jumlah tiga dokter spesialis; paru, patologi klinik, dan radiologi untuk menangani situasi pandemi dan pasca pandemi Covid-19.
Caranya dengan membiayai para dokter yang ingin mengambil program spesialisasi tiga bidang tersebut.
"Kita harus menugaskan mereka [dokter] untuk sekolah itu. Dan akan kita biayai supaya semakin banyak yang mau."
Kementerian, kata Trisa, belum berani memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan rasio dokter dan penduduk Indonesia pasca meninggalnya ribuan tenaga kesehatan.
Sebab tak ada yang tahu kapan pandemi berakhir.
Yang ia harapkan, jumlah tenaga kesehatan yang gugur tidak terus bertambah.
"Diupayakan tidak bertambah yang wafat, karena mereka aset yang tidak tergantikan." [suara]