Indikator Kematian Dihapus Luhut dalam Penetapan Level PPKM, Gde Siriana: Semakin Ngawur!

Indikator Kematian Dihapus Luhut dalam Penetapan Level PPKM, Gde Siriana: Semakin Ngawur!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Satu indikator penilaian yang digunakan dalam menetapkan level di suatu wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dihapus oleh pemerintah. Indikator tersebut adalah angka kematian Covid-19.

Indikator kematian Covid-19 bakal tidak digunakan lagi oleh pemerintah mulai pekan ini, sehingga dalam menetapkan PPKM selanjutnya, akan ada wilayah-wilayah yang angka kematiannya tinggi tapi tidak masuk ke dalam wilayah kategori level 3 atau level 4.

Keputusan pemerintah terkait hal tersebut disampaikan Koordinator PPKM wilayah Pulau Jawa dan Bali, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam jumpa pers virtual Senin malam (9/8).

Luhut menyebutkan, alasan pemerintah menghapus indikator kematian Covid-19 dalam menetapkan kebijakan penanganan pandemi adalah karena ditemukan input data yang bermasalah di daerah, sehingga ada data kematian yang terakumulasi selama beberapa minggu ke belakang.

"Sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," ujar Luhut dikutip melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (10/8).

Alasan Luhut tersebut dianggap tidak relevan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf.

Gde Siriana menjelaskan, WHO menyatakan case fatality rate (CFR) sebagai perkiraan proporsi jumlah kematian dari total orang yang sudah terkonfirmasi positif, karena terkena penyakit virus Corona melalui hasil tes.

Pada kasus Covid-19, CFR dipengaruhi oleh ketersediaan atau akses masyarakat terhadap tes, dan kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan pemeriksaan.

Dari pengertian itu, Gde Siriana memandang alasan Luhut tidak tepat. Karena seharusnya, dalam menetapkan kebijakan pandemi pemerintah tidak bisa melepaskan indikator CFR tapi mesti memperbaiki pendataan jika bermasalah, agar bisa menetapkan kebijakan pengendalian Covid-19 yang baik di kemudian hari.

"Karena jika tidak memungkinkan kebijakan yang telah dan akan diambil nanti jadi tidak tepat. Jadi bukan menghapusnya, malah semakin ngawur saja," ucap Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (10/8).

Lebih dari itu, Gde Siriana melihat persentase kematian Covid-19 Indonesia kini lebih tinggi dibanding global. Di mana, total kematian di dalam negeri sudah mencapai 110.619 kasus atau 3 persen dari total kasus positif yang sebanyak 3.718.821 kasus.

Sementara, persentase kematian Covid-19 secara global lebih rendah dari Indonesia, yakni sebanyak 4.320.329 kasus atau sebesar 2,1 persen dari total kasus positif yang sebanyak 204.3111.266 kasus.

"Jadi seharusnya bukan mengeluarkan indikator kematian tapi memperbaiki laporannya. Jika ini dikeluarkan, maka kematian sebagai damage tidak menjadi bahan pertimbangan dari kebijakan yang akan diambil," sambung Gde Siriana.

Oleh karena itu, Komite Eksekutif KAMI ini menyarankan pemerintah untuk menjamin validitas angka kematian yang ada sekarang ini. Karena menurutnya hal ini menyangkut klaim RS atas perawatan pasien Covid yang meninggal di RS.

Sebagai contoh, Gde Siriana mengkalkulasi nilai klaim RS yang relatif besar. Misalnya untuk pasien ODP/PDP dengan komorbid, biaya pelayanan ruang ICU dengan ventilator nilai top up per harinya mencapai Rp 16.500.000.

"Itu kalau dirawat 10 hari top up-nya Rp 165 juta. Belum termasuk tarif INA-CBG dan pengurusan Jenazah seperti biaya peti, kantong dan pemulasaraan jenazah," tuturnya.

Lebih lanjut, Gde Siriana merekomendasikan kepada pemerintah agar pendataan Covid-19 dilengkapi dengan informasi mengenai kategorisasi orang yang terpapar karena belum vaksinasi.

"Misalnya dari kasus positif baru itu berapa yang belum divaksin, berapa yang sudah divaksin sekali dan berapa yang sudah vaksin dua kali. Itu informasi yang berguna untuk masyarakat," tandasnya. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita