OLEH: SALAMUDDIN DAENG
TAHUN 2021 total anggaran penanganan virus corona baru (Covid-19) dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) naik menjadi Rp 744,75 triliun. Ini disebut dana Covid-19 atau dana untuk penanganan Covid-19.
Katanya dana ini dibagikan kepada perusahaan di sektor kesehatan, dunia usaha, umkm, BUMN hingga Bansos.
Dana sedemikian besar, namun seperti netes di tanah yang kering, tak bisa buat bercocok tanam. Mungkin bukan pengibaratan yang tepat karena tidak ada dana ini untuk petani.
Jadi ini adalah mega proyek jumbo, mega proyek Covid-19 dengan semua turunannya. Belum pernah dalam sejarah indonesia mengalokasikan dana sebesar itu untuk satu proyek.
Namun kali ini atas nama darurat Covid-19, APBN dihamburkan, dibagi-bagikan kepada semua pihak yang terlibat dan terkena dampak covid 19.
Meskipun sampai sekarang pemerintah enggan mengumumkan By Name By Address siapa yang terima dana jumbo tersebut.
Dua tahun sudah APBN dibelanjakan untuk Covid-19 dalam jumlah jumbo. Tahun 2020 senilai Rp 677 triliun dan tahun 2021 senilai Rp 744 triliun. Jadi anggaran covid sudah dialokasikan sebanyak Rp 1.421 triliun. Besar sekali.
Jika dana ini dibagi rata kepada semua penduduk miskin di Indonesia yakni 27 juta jiwa, maka masing masing orang mendapat Rp 52 juta. Jika dibagi rata kepada semua rumah tangga di Indonesia maka masing-masing Kepala Keluarga mendapatkan 21 juta.
Jika dibagikan kepada semua orang yang kena covid maka masing masing penderita covid 3,87 juta jiwa maka masing masing penderita covid 19 mendapatkan Rp 367 juta per orang.
Ini bukan cara menghitung yang lazim. Hanya untuk menggambarkan betapa besar uang untuk mengelola virus Covid-19 ini. Jumlah ini akan makin besar karena pemerintah sudah ok berdampingan dengàn covid 19.
Uang Banyak
Pemerintah sekarang jelas kurang uang. Sebelum Covid-19 datang pemerintah sudah kekurangan uang, penerimaan sumber daya alam minim, penerimaaan pajak minim.
Di masa covid bukan saja minim tapi penerimaan terus menurun signifikan. Wajar selama ini ekonomi dan pendapatan negara ditopang oleh belanja masyarakat.
Ketika masyarakat tidak ada uang yang dibelanjakan maka otomatis penerimaan pajak dan non pajak negara berkurang dan menurun seiring masyarakat uang belanjanya makin tipis.
Maka pemerintah berhutang. Inilah kesempatan yang banyak ditunggu-tunggu kalangan pengambil kebijakan, yakni bisa berhutang besar.
Sebelum covid utang hanya dibatasi 3 persen GDP, sekarang di era covid bisa di atas 3 persen GDP menurut UU 2/2020.
Maka digunakanlah sebagai kesempatan untuk mengambil utang sebesar besarnya. Alasannya menyelamatkan ekonomi.
Tahun 2021 pemerintah mengambil utang Rp 1.177 triliun. Tahun sebelumnya senilai Rp 1.220 triliun. Jadi selama dua tahun tambahan utang dengan alasan Covid-19 mencapai Rp 2.397 triliun.
Ini tambahan utang yang sangat banyak. Luar biasa banyak. Coba kita bandingkan. Sampai dengan akhir pemerintahan SBY menurut data BI surat utang negara (SUN) senilai Rp 1.101 triliun.
Jadi tambahan utang Pemerintahan Jokowi setara dengan 2 kali seluruh SUN yang pernah dibuat sejak berdirinya Republik Indonesia sampai dengan masa pemerintahan SBY.
Jika dibandingkan dengan selueuh utang pemerintah termasuk utang luar negeri pemerintah sampai dengan akhir masa pemerintahan SBY, maka utang Pemerintahan Jokowi dimasa covid hampir setara dengan seluruh utang luar negeri dan utang dalam negeri pemerintah sejak republik ini berdiri.
Uang Tetap Uang
Namanya uang jika memang ada dan dialirkan ke ekonomi maka ekonominya akan bergerak. Dulu utang diambil konon untuk menggerakkan ekonomi, dialirkan dalam proyek proyek pemerintah, kerjasama pemerintah dengan swasta, dialirkan dalam subsidi dan bantuan sosial kepada masyarakat.
Intinya uang APBN dialirkan maka ekonomi akan menggeliat, ekonomi hidup, uang belanja rakyat banyak.
Namun kalau ekonomi tidak bergerak maka ada dua kemungkinan uangnya tidak dialirkan atau kemungkinan kedua uangnya diembat orang dan disimpan di suatu tempat di rekening rekening yang tersembunyi.
Sebab kalau masih disimpan di bank dalam negeri, maka bank akan menyalurkan ke masyarakat untuk bermacam investasi dan kredit konsumsi.
Nah uang covid-19 dari APBN yang besar ini kok tidak mengalir sebagaimana mestinya?
Kalau memang uangnya tidak disalurakan secara sengaja, lalu uang ini disimpan dimana oleh pemerintah? Tapi kalau uang ini sudah disalurkan namun tidak sampai ke sasaran, lalu siapa yang embat dan disimpan dimana?
Bukankah sekarang era digitalisasi. Orang yang sudah dan belum vaksin saja bisa diketahui dari perangkat digital katanya. Mana mungkin urusan uang tidak bisa dicheck dengan perangkat digital.
Inilah yang menjadi tugas pemerintah agar membuka akses masyarakat untuk memperoleh data uang covid 19 disalurkan kemana saja.
Mulai dari pasien covid sudah mendapat bantuan berapa masing masing jiwa, nama dan alamat mereka dimana, rumah sakit sudah disalurkan berapa, untuk belanja vaksin ke masing perusahaan berapa?
Belanja obat juga demikian, belanja Alkes, belanja alat test dan lain sebagainya. Semua data yang terdigitalisasi sudah pasti akan dapat dimonitor masyarakat.
Ini baru namanya inclusive, sistem anggaran yang super inclusive, bukan hanya DPR yang berhak tahu, tapi juga seluruh rakyat.
Nanti kalau pemerintah benar-benar sudah kere dan susah dapat utang, maka masyarakat bisa tolong pemerintahnya. Kalau main petak umpet begini dengan rakyat, ya susah!
(Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)