GELORA.CO - Hampir 1,5 tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Walau demikian, tingkat penularan masih mengkhawatirkan, bahkan muncul gelombang kedua pada Juni lalu.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai belum meredanya penularan salah satunya dilandasi faktor kebijakan yang berubah-ubah. Berganti-gantinya kebijakan nampak dari istilah pembatasan mulai dari PSBB, PPKM Darurat, hingga PPKM level 3-4.
"Saya berpendapat, ya, agak terlambat karena sudah lebih 1,5 tahun menyatakan darurat kesehatan berganti-ganti kebijakan, orang dan rumusan-rumusan hukum juga tidak selalu jelas, dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan menimbulkan pertanyaan, apakah pure pelanggaran atau ada unsur politik. ini memberikan citra kurang positif kepada pemerintah, karena ada anggapan orang tertentu yang kena, tebang pilih," ujar Yusril dalam webinar yang digelar IDI pada Sabtu (31/7) malam.
Yusril menyatakan, pemerintah harus menemukan rumusan yang tepat dalam penanganan COVID-19, termasuk landasan hukum. Sebab apabila salah langkah, korban COVID-19 bisa terus berjatuhan.
"Enggak ada yang menjamin kesehatan kita sekarang. Salah kebijakan bisa mati massal, dan kalau mati massal itu bisa genocide (genosida -red) juga karena pembunuhan bersifat massal," ucapnya.
Yusril menilai landasan hukum pemerintah dalam penanganan COVID-19 masih bermasalah. Ia mencontohkan PPKM level 3-4 yang hanya diatur melalui Instruksi Mendagri.
Begitu pula terlibatnya Menteri BUMN Erick Thohir dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dalam penanganan COVID-19 yang dinilai tak sesuai tugas.
"Kalau legitimasi dipertanyakan, orang memberi instruksi juga gimana, ya, tarik ulur, mundur maju mundur maju," kata Yusril.
Yusril menyatakan, pemerintah perlu merapikan instrumen hukum dalam menangani pandemi corona, termasuk melibatkan dokter-dokter ketika mengambil kebijakan.
"Dokter orang yang profesional tidak bisa diabaikan. Suara mereka ini harus menjadi pertimbangan utama dalam menangani urusan pandemi," tutupnya. (rmol)