oleh Sapto Andika Candra, Zainur Mashir Ramadhan, Rizky Suryarandika, Febryan. A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (15/7) malam, sekitar pukul 21.00 WIB melakukan blusukan mendadak di Kelurahan Sunter Agung, Jakarta Utara. Jokowi membagikan sejumlah paket sembako dan paket obat-obatan kepada warga yang terdampak pandemi Covid-19.
"Malam hari ini saya berada di kampung Sunter Agung dalam rangka mengawali pemberian sembako kepada masyarakat yang akan diberikan menyeluruh yang sudah kita siapkan 200 ribu ton beras yang akan disalurkan nanti dari Bulog," kata Presiden Jokowi di lokasi.
Presiden menambahkan, per hari ini memang pemerintah mulai menyalurkan 300 ribu paket obat-obatan untuk masyarakat yang melakukan isolasi mandiri. Paket obat ini terdiri dari tiga paket, yang isinya disesuaikan dengan tingkat gejala yang dialami warga.
"Kemudian nanti minggu depan akan diteruskan untuk paket kedua 300 ribu yang berikutnya. kita harapkan dengan pembagian sembako ini dan juga paket obat-obatan dan vitamin suplemen masyarakat bisa lebih tenang dalam menghadapi penyebaran Covid-19 ini," kata Jokowi.
Sebagian warga Sunter Agung mengaku kaget dengan kehadiran Presiden Jokowi di lingkungan rumah mereka. Sugiharto dan Karsini, yang menerima paket sembako dari presiden, menyampaikan harapannya agar pandemi Covid-19 segera usai. Ia ingin aktivitas masyarakat bisa kembali normal seperti sedia kala.
Berbeda dengan warga yang didatangi Jokowi, sebagian pakar mengkritik langkah blusukan Jokowi. Epidemiolog dari UI, Pandu Riono menilai, blusukan oleh Jokowi tidak perlu dilakukan di saat pandemi Covid-19 sedang gawat.
"Ngasih obat dan sembako itu tidak perlu dilakukan Pak Jokowi saat ini," ujar dia kepada Republika, Jumat (16/7).
Menurut Pandu, yang dibutuhkan Indonesia saat ini, adalah sikap kepemimpinan Jokowi dalam menanggulangi pandemi secara langsung. Pandu menambahkan, upaya penyelesaian terkait pandemi juga seharusnya tidak diserahkan Jokowi kepada para menterinya.
"Pimpin penanggulangan pandemi secara langsung, tidak diserahkan ke Airlangga, ataupun Luhut. Dia (Jokowi) tugasnya memimpin, bukan bagikan bansos atau obat," tambahnya
Pakar komunikasi dari Unair, Suko Widodo, juga menyoroti blusukan Jokowi yang membagikan langsung sembako dan obat ke warga di Kampung Sunter Agung,. Menurutnya, langkah yang dilakukan itu memang baik-baik saja untuk mendengar langsung suara warga.
"Tetapi, saat ini yang dibutuhkan warga dari Pak Jokowi adalah keputusan yang bisa memberi jaminan ketenangan,’’ ujar dia kepada Republika, Jumat (16/7).
Akan lebih tepat Jika Jokowi bisa menyampaikan pesan-pesan kebijakan yang nyata dan memenuhi harapan warga. Alih-alih, membagikan paket obat dan sembako kepada sebagian kecil warga.
"Meninjau RS, depo gas, logistik pangan, (itu) lebih pas,’’ ungkap dia.
Sebelum blusukan di Kampung Sunter Agung, pada Kamis (15/7) pagi, Presiden Jokowi secara simbolis meluncurkan pemberian paket obat isolasi mandiri untuk pasien Covid-19 secara gratis untuk masyarakat. Pembagian paket obat isolasi mandiri ini dilakukan agar masyarakat yang terinfeksi dapat segera sembuh dan untuk mengurangi laju penularan Covid-19.
"Pemerintah mulai hari ini akan segera membagikan paket vitamin dan obat untuk isolasi mandiri," ujar Jokowi saat peluncuran pemberian paket obat isoman gratis di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/7).
Pemerintah akan membagikan 300 ribu paket obat untuk pasien Covid-19 yang melakukan isolasi mandiri di Pulau Jawa dan Bali. Program ini juga akan berlanjut untuk pasien isoman di luar Pulau Jawa yang juga sebanyak 300 ribu paket.
"Ada 3 jenis paket obat yang kita bagikan masing-masing untuk 7 hari seperti yang sudah di depan," ujarnya.
Program obat gratis ini mendapatkan respons dari sejumlah warga. Sejumlah pasien Covid-19 dan penyintas berharap pendistribusian obat itu cepat dan administrasinya tidak ribet.
Fadhli (26 tahun), seorang pasien Covid-19 yang pernah menjalani isoman, menyambut baik kebijakan Presiden Jokowi itu. Hanya saja ia berharap agar jarak waktu pelaporan gejala dan waktu penerimaan obat gratis itu bisa cepat.
"Ya baguslah ada obat gratis. Yang penting obat itu datangnya jangan lelet, jangan sampai berhari-hari setelah laporan baru obat tiba. Gejala kan bisa tambah parah kalau tidak segera dikasih obat," kata Fadhli kepada Republika, Kamis (15/7).
Fadhli berpendapat, demikian setelah berkaca pada pengalamannya meminta obat ke puskesmas. Sejak dinyatakan positif Covid-19 pada 27 Juni, Fadhli menjalani isoman di indekosnya di Palmerah, Jakarta Barat. Ia bergejala ringan.
Pada tanggal 28, Fadhli berkonsultasi dengan dokter lewat salah satu aplikasi penyedia layanan kesehatan daring berbayar. Setelah mendapat resep dokter, tanggal 29 ia langsung memesan obat di aplikasi tersebut. Pada hari yang sama, obat langsung datang diantarkan oleh pengemudi ojek daring.
"Itu saya dapat tujuh macam obat dengan biaya sekitar Rp 150 ribu," kata Fadhli.
Beberapa hari berselang, Fadhli melaporkan, bahwa dirinya sedang menjalani isoman kepada pihak puskesmas. Lantaran gejalanya bertambah, Fadhli berkonsultasi dan meminta obat ke puskesmas pada 4 Juli.
"Obat dari puskesmas baru saya dapat tanggal 6 Juli. Saya pesan gojek untuk ambil obatnya yang ada lima jenis itu," kata Fadhli yang kini sedang menjalani perawatan di ruang isolasi rumah sakit karena gejalanya memburuk.
Desy Selviany (28 tahun), seorang penyintas Covid-19 yang sembuh setelah isoman, juga menyambut baik program obat gratis ini. Hanya saja, ia menekankan agar proses pengambilan obat jangan ribet.
Ketika Desy menjalani isoman di kamar indekosnya di Kelurahan Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, dirinya sempat lama menunggu obat karena prosesnya ribet. Saat itu gejala demamnya bertambah dengan diare pada hari ke empat isoman.
Desy lantas menghubungi petugas kelurahan yang bertugas memantau pasien isoman, sebagaimana diminta pihak puskesmas sebelumnya. Ia ingin menyampaikan keluhannya dan meminta obat, tetapi petugas itu tak merespons.
Desy lantas melapor ke pihak puskesmas kelurahan. Selanjutnya pihak puskesmas menegur petugas itu agar segera meresponns keluhan Desy.
"Lalu saya telpon petugas kelurahan atau yang disebut PKC itu dan dia minta maaf. Tapi setelah itu dia malah suruh saya agar koordinasi langsung dengan kepala puskemas soal obat," papar Desy.
Setelah berkonsultasi dengan kepala puskemas kelurahan, barulah ia mendapat obat. Ia meminta ojek daring mengambil obat di puskesmas kelurahan pada hari itu juga.
"Ribetnya ya begitu karena ada perantara gitu" ujar Desy. []