GELORA.CO - Peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal "Kudatuli" dijadikan momen refleksi bagi para saksi sekaligus pelaku sejarah di dalamnya untuk mengingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju untuk tetap bekerja mendukung Presiden Joko Widodo menangani pandemi Covid-19.
Budi Mulyawan, salah seorang seksi dan pelaku sejarah Kudatuli memberikan warning kepada jajaran menteri Jokowi agar berhati-hati dalam situasi negara yang genting karena diombang ambing rongrongan politik, baik dalam dan luar negeri di masa pandemi Covid-19 memasuki tahun kedua.
"Hari ini, sejarah pengorbanan pelaku tragedi Kudatuli tepat 25 tahun. Kami memperingatkan keras agar perjuangan reformasi berdarah-darah yang diawali penyerangan kantor DPP PDI sebelum berganti nama PDI Perjuangan, oleh rezim otoriter Orde Baru, jangan sampai dihancurkan manuver-manuver dendam politik selama masa puncak pandemi Covid-19," ujar dalam keterangannya, Selasa (27/7).
Yang lebih penting lagi, Budi menekankan situasi genting saat ini jangan sampai dimanfaatkan pembantu-pembantu Presiden Jokowiuntuk kepentingan pragmatis personal atau kelompok.
Budi Mulyawan mengingatkan, para menteri di Kabinet Indonesia Maju jilid 2 harus melek dan paham bahwa Jokowi merupakan Presiden RI kelima, yang merupakan buah perjuangan reformasi yang diawali dengan tragedi berdarah Kudatuli dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi supremasi sipil di Indonesia.
Karena itu, lanjut dia, tanggungjawab yang diemban para menteri jangan dijadikan 'aji mumpung' atau fokus memanfaatkan peluang untuk kepentingan pragmatis. Padahal, rakyat dan Negara dalam situasi genting dan darurat karena menghadapi dampak sosial dan ekonomi akibat rongrongan pandemi global.
"Indikasi ke arah itu sudah sangat terasa. Belakangan, para pembantu presiden seperti saling ingin aman sendiri, tidak fokus, konsentrasi pecah menghadapi tahun-tahun terakhir kepemimpinan presiden Jokowi," ucapnya.
"Apalagi, kalau ada yang mengkhianati. Ini bahaya tidak hanya untuk Negara, tapi juga nasib rakyat. Keterlaluan, ini menciderai reformasi," sambung Budi.
Penggagas berdirinya Ormas Nasionalis Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) ini mengaku sangat menyayangkan ada kebijakan-kebijakan yang membuat presiden terjebak blunder politik disaat sedang fokus penanganan Covid-19.
"Seperti kasus Rektor UI dan pembatalan vaksinasi berbayar, yang begini jangan sampai terus terulang," cetusnya.
Karena itu, Budi menilai para pembantu Jokowi yang komitmennya lemah dan tidak memiliki kompetensi pada bidangnya, khususnya untuk penanganan pandemi Covid-19 itu kurang memahami dan menghargai pengorbanan kolektif sistem pemerintahan demokrasi sipil buah gerakan reformasi, yang sudah dapat "dipertahankan" mulai Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, dan saat ini sedang diwujudkan Presiden Jokowi.
"Jika terus dibiarkan akan membahayakan stablitas nasional. Jangan sampai ini jadi peluang besar dimanfaatkan musuh-musuh politik Jokowi dan bangkitnya kembali rezim otoriter. Jadi, kami berkewajiban mendesak Presiden Jokowi agar secepatnya melakukan revitalisasi kabinetnya agar benar-benar tangguh menghadapi krisis multi yang semakin rawan situasi darurat dan genting," imbuhnya.
Lebih lanjut, Budi Mulyawan sangat mengapresiasi kesigapan TNI dan Polri yang belakangan semakin proaktif turun ke lapangan untuk mengoptimalkan gerakan vaksinasi di masyarakat, sebagai langkah darurat menyelamatkan masyarakat Indonesia dari ancaman virus yang mengancam jiwa.
"Kami menghargai kerja keras dan semangat TNI dan Polri yang belakangan 'all out' terjun langsung ke masyarakat untuk menghentikan penyebaran Covid 19 ini," tutur Budi.
"Kasihan Presiden Jokowi kalau harus terus-terusan turun ke kampung dan pasar untuk memotivasi pembantunya agar tidak jadi begundal politik hingga mengorbankan marwah reformasi," tandasnya. (RMOL)