Oleh : Damai Hari Lubis
Sekjen TPUA & Pengamat Hukum Mujahid 212
Istana Blunder dalam Menegakan Hukum Positif oleh sebab "Masukan yang Sengaja Salah atau Pengetahuan Hukum minim" Para Ahli Hukumnya
*(Studi Kasus Singkat dari Penegakan Hukum Prokes Covid 19, dan Pembantaran terhadap pelaku Delik Pembunuhan KM 50 )*
Tepatnya, Jokowi dapat masukan hukum dari para ahli hukum istana yang tidak atau kurang faham terhadap asas - asas hukum pidana, serta tidak faham jeroan atau materi sistem hukum hingga berakibat malpraktek pada penerapan hukumnya.
Secara teori hukum , ada dua asas penegakan hukum yang merupakan bagian atau dari prinsip hukum pidana yang dapat bahkan sudah diterapkan oleh negara ini, melalui pemerintahan yang sah kepada rakyat atau bangsanya, yang dikenal dalam teori asas - asas hukum ( pidana ) disebut :
1. Ius konstitum, hukum positif atau hukum yang harus diberlakukan dan mesti dilakukan atau ditegakan yakni terdapat pada perangkat sistem hukum pidana maupun keperdataan khususnya perdata terkait hukum ketatanegaraan ( pengecualian terhadap sistem hukum keperdataan/ privat recht ada kebolehan terkait kemufakatan dari para pihak ).
2. Ius kontituendum , sebuah ketentuan hukum, namun hanya bersifat mudah - mudahan berlaku atau sekedar cita cita, bila dianalogikan hanya sekedar himbauan, yakni contoh agar orang atau masyarakat mau membayar pajak terhadap barang barang jenis elektonik ; pajak radio, pajak TV , Kulkas.
Model pajak elektronik ini memiliki tarif ketentuan sesuai lebar inci layar tv atau besarnya lemari es/ kulkas, namun ketentuan ius konstituendum terkait barang elekronik, sudah lama tidak diberlakukan lagi di negara ini, ketentuan hukum ini tenggelam karena modernisasi, namun di Jawa Barat, Bandung pada tahun 1998 an regulasi, atau ketentuan norma hukum cita cita ini masih diberlakukan.
Kini hampir merata disemua wilayah, tidak terdeteksi apakah masih ada diterapkan kaedah hukum ( ius konstituendum menyangkut pajak ) sebagai tambahan income kas pemerintah daerah atau Pusat ( Departemen Keuangan RI ) oleh sebab hanya cita cita mudah - mudahan dipatuhi.
Model ius konstituendum yang sejak dulu dan kekinian yang masih berlangsung adalah pajak kendaraan bermotor ( mobil dan motor ), bahkan pajak terhadap tanah dan bangunan.
Maka subjek hukum atau pelanggar terhadap hukum ini ( kendaraan sebagai benda bergerak dan tanah sebagai barang tidak bergerak ) tidak dapat dihukum atau dipenjara melainkan cukup denda.
Terhadap kendaraan sanksinya adalah dalam bentuk larangan kendaraan tidak dapat digunakan oleh pemiliknya melintas dijalan raya, selain juga denda dapat saja dikenakan kepada pemilik baru ( pembeli ) kelak, saat memperpanjang pajak kendaraan, sedangkn pada tanah, sanksinya adalah pelunasan dan atau denda saat peralihan jual beli tanah dari pemilik lama ( penunggak pajak ) kepada pemilik baru atau calon pembeli ( PPh dan BPHTP ).
Pemahaman akibat konsul hukum yang salah, terhadap dasar atau asas hukum tentang ius konstitum dan ius konstituendum menjadikan pemerintahan Jokowi blunder pada penerapan hukum dan praktek penegakan hukumnya.
Maka statuta atau dasar pedoman yang tidak tepat ataukah memang faktor kesengajaan oleh sebab politik dan politisasi dari para penasihat hukum dan penasihat politik atau ahli hukum istana ? Atau justru ini atas dasar keinginan Jokowi selaku pribadi ? Wallahu 'alam.
Penulis komparasi melalui fakta nyata dengan ilustrasikan ( gambaran atau contoh sederhana penegakan hukum ) terhadap diri HRS yang prosesnya tengah berjalan dan fakta hukumnya sedang menjalani hukuman penjara yang hanya oleh sebab ius konstituendum yakni Prokes Covid 19, fakta hukum tuntutan JPU adalah 6 Tahun penjara, padahal cukup denda dan sebaliknya fakta dengan data emperik jutaan orang pelanggar termasuk Presiden Jokowi tidak diproses hukum sama sekali.
Pada kenyataan lainnya, terkait Pandemi Covid 19, dimana beresiko hilangnya jutaan nyawa manusia, selain sebagai tanggung jawab presiden selaku pemimpin negara ( penguasa tertinggi eksekutif pemerintahan negara ) sesuai konstitusi dasar negara kita UUD. 1945 sebagai hirarkis tertinggi dari sistem perundang2an negara kita mewajibkan presiden menjaga dan melindungi serta mensejahterakan kehidupan bangsa ( kesehatan dan perekonomian ), justru dalam menangani pandemi Virus Covid 19 yang amat bahaya Jokowi tidak menggunakan ketenttuan yang merupakan hukum positif yang ada atau hukum yang wajib ditegakan serta diberlakukan yaitu UU. RI.No. 6 Tahun 2018, UU. Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Malah dalam prakteknya hukum positif atau ius konstitum ini ditiadakan, justru muncul ketentuan dengan istilah PSBB lalu PPKM Darurat, yang kenyataan pada praktek hukumnya bersifat mudah2an berlaku atau sekedar cita cita belaka atau ius konstituendum dan pastinya tidak menerapkan Pasal 55 UU. A Quo Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni Presiden Jokowi selaku Pemimpin Tertinggi Pemerintahan RI tidak melakukan kewajiban untuk memberikan kebutuhan hidup dari orang - orang atau masyarakat yang wilayahnya dikenakan status PPKM Darurat, masyarakat dibatasi kehidupannya atau dilarang pergerakannya dengan show of force dari berbagai lapisan kekuatan yang melibatkan pihak Polisi, TNI dan Dishub serta Satpol PP . Masyarakat dilarang melintas pada sebuah zona atau wilayah, titik tertentu wilayah sekalipun untuk mencari nafkah diri dan keluarganya bahkan warung atau tempat usaha mereka dilarang beroperasi namun solusi kompensasi atau tepatnya ketentuan a quo pada pasal 55 UU. Kekarantinaan Kesehatan tidak dijalankan.Sehingga tidak jelas apa missi subtansi dari hasil program yang mereka ciptakan baik PSBB dan PPKM apakah serius demi nyawa anak bangsa ,bila serius mengapa pasal 55 pada hukum positif atau ius konstitum tidak digunakan , padahal anggaran untuk pencegahan covid 19 ini telah dikucurkan ratusan trilyuan bahkan infonya akan ditambah.
Dan terkait prokes yang sekedar hukum cita cita ini, telah dijadikan alasan hukum atau tuduhan kepada Habib Rizieq Shihab/ HRS Seorang Ulama ( Imam ) Besar tanah air, tuduhan pelanggaran Prokes Covid 19 yang nota bene sebagai hukum cita cita ini, berakibat Beliau langsung di borgol lalu jeruji kerangkeng tahanan dan melahirkan tuntutan 6 tahun penjara oleh JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Timur , terhadap Beliau tanpa ada diberikan pembantaran sejak status TSK sampai dengan perkara inkracht ( vonis berkekuatan hukum tetap ) oleh sebab adanya banding dan kasasi.
Sebaliknya contoh sungsang penegakan hukum oleh Polri adalah diberikannya hak pembantaran terhadap anggota aparat kepolisian / polri atau TSK pelaku pembunuhan terhadap 6 Mujahid Para Pengawal Sang Imam Besar di Tol Kerawang Cikampek KM.50,Jawa Barat, padahal secara hukum, bila aparat pemerintah atau pejabat negara yang jadi terdakwa karena melakukan sankaan atau tuduhan tindak pidana, maka ancaman hukumannya diperberat dengan ancaman hukuman dari yang terberat pada undang undang ditambah dengan sepertiganya ( KUHP Pasal 52 ).
Maka inilah fenomena penegakan hukum di era Jokowi yang statuta - nya suka suka, sehingga tranparan kebolak - balik nya atau sungsang melihat dari praktik penyelenggaran penegakan hukumnya yang sarat melanggar due proccess of law dan tidak equal, selain karena yang semestinya hukum positif dijadikan hukum mudah - mudahan berlaku dan hukum yang mudah mudahan berlaku menjadi hukum yang harus berlaku.