GELORA.CO - Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (BEM STHI) Jentera menanggapi soal julukan ‘King of Lip Service’ yang diberikan BEM Universitas Indonesia (UI) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ketua BEM STHI, Renie Aryandani mengatakan bahwa julukan yang diberikan BEM UI itu terlalu sopan.
Renie Aryandani menilai bahwa julukan yang lebih tepat untuk Jokowi adalah ‘Bapak Oligarki Indonesia’.
“Menurut saya sendiri, julukan The King of Lip Service justru terlalu sopan jika dibandingkan dengan tanggung jawab Pak Jokowi selama ini,” katanya dalam sebuah diskusi daring yang digelar ICW pada Jumat, 2 Juli 2021, dilansir dari JPNN.
“Janji manisnya justru teralisasi menjadi melemahkan pemberatansan korupsi, pengabaian terhadap pelanggaran HAM, atau bahkan justru menjadi aktor pelanggar HAM itu sendiri semata untuk mengeksploitasi SDA dan tenaga kerja,” lanjut Renie.
Ia menganggap Presiden Jokowi melegalkan segala cara seolah-olah tidak terjadi apa-apa lalu menggambarkannya sebagai sesuatu yang adil.
“Padahal terdapat penyelundupan hukum di dalam, untuk siapa, ya, untuk oligarki,” ujarnya.
Renie mencontohkan bahwa dulu, mahasiswa dan kelompok lainnya bergerak menentang Revisi Undang-undang KPK, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Namun, Jokowi sebagai pemimpin tidak mendengarkan aspirasi masyarakat dan membiarkan Undang-Undang itu disahkan.
“Ketika dia membiarkan itu terjadi terus menerus, kenapa kami tidak memberi julukan lain,” kata Renie.
“Kalau Soekarno adalah Bapak Proklamator, Soeharto adalah Bapak Pembangunan, enggak salah ketika kami kasih julukan Presiden Jokowi sebagai Bapak Oligarki Indonesia,” sambungnya.
Renie menjelaskan bahwa Jokowi memiliki kepentingan oligarki sehingga gerakan demokrasi dibungkam.
Menurutnya, hal itu terjadi di berbagai sektor, seperti masyarakat adat, buruh, petani, mahasiswa, dan sebagainya.
Bahkan, kata Renie, ketika kelompok tersebut bersuara, mereka akab langsung dibungkam dan dibentengi aparat keamanan TNI-Polri.
“Kami lihat saja apa yang terjadi baru-baru ini, apa yang terjadi di Wadas, apa yang terjadi di Kalsel kemarin, bagaimana mungkin kami lupa atas kekejaman itu,” jelas Renie
“Darah-darah manusia yang terpaksa mengucur karena kekejaman aparat TNI-Polri yang katanya mengayomi, melindungi, ternyata justru memberi rasa tidak aman, terancam, dan trauma dengan mereka,” lanjutnya. (*)