Kudatuli Dan PR PDIP

Kudatuli Dan PR PDIP

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO
 Genap 25 tahun sudah peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) terjadi. Peristiwa yang terjadi pada Sabtu pagi 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat itu juga dikenal sebagai Peristiwa Sabtu Kelabu.

Kelabu lantaran berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli.

Tercatat sebanyak 5 orang meninggal, 149 luka-luka, 136 ditahan dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Sedangkan 22 bangunan di sepanjang Jalan Salemba terbakar dengan total 91 kendaraan musnah. Ditaksir kerugian kala itu mencapai Rp 100 miliar.

Peristiwa ini sendiri dipicu oleh konflik internal yang terjadi ditubuh partai. Ada kubu Soerjadi dan kuu Megawati Soekarnoputri.

Mulanya, Soerjadi terpilih secara aklamasi sebagai ketum PDI pada 23 Juli 1993. Namun, dugaan terlibat penculikan kader membuat sejumlah kelompok di PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, yang menghasilkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI.

Posisi Megawati sebagai ketua umum kemudian ditetapkan dalam Munas di Jakarta pada 22 Desember 1993. Mega mendapat amanah memimpin hingga rahun 1998.

Di satu sisi, kubu Soerjadi merespon dengan menggelar Kongres Medan pada 22 Juni 1996. Dalam kongres itu, Soerjadi terpilih sebagai ketua umum PDI, hingga membuat dualisme di tubuh partai.

Hasilnya, pemerintah harus turun tangan untuk mengambil keputusan. Dan keputusan itu disampaikan Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen Syarwan Hamid, yaitu mengakui kepemimpinan PDI Soerjadi.

Singkat cerita, dukungan pada Megawati justru makin menguat, utamanya dari kelompok yang menentang rezim Orde Baru.

Mereka berkumpul di Kantor PDI, Jalan Diponegoro, hingga akhirnya meletus peristiwa kelabu.

Pekerjaan Rumah PDI Perjuangan

Peristiwa Kudatuli yang kelam bagi PDI akhirnya memunculkan partai baru bernama PDI Perjuangan yang dikomandoi Megawati Soekarnoputri.

Di era reformasi, PDIP sempat berkuasa. Namun kekuasaan Megawati sebagai presiden hanya berlangsung sebentar. Sehingga wajar jika belum maksimal dalam mengantisipasi agar peristiwa kelam yang mereka alami tidak terulang.

Kini, PDIP kembali berkuasa. Megawati berulang kali menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo adalah petugas partai mereka.

Dengan demikian, seharusnya, PDIP bisa meminta kepada Presiden Joko Widodo agar preseden kelam itu tidak kembali terulang.

Sementara fakta terakhir justru menunjukkan ada pola yang hampir sama terjadi di era Jokowi. Di mana secara tiba-tiba, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko yang merupakan ring 1 Jokowi, menggelar Kongres Luar Biasa di Deliserdang dengan mengatasnamakan diri sebagai Partai Demokrat.

Moeldoko bahkan kemudian terpilih sebagai ketua umum tak lama setelah kongres dibuka.

Dugaan cawe-cawe pemerintah dalam kasus ini sempat terbantahkan setelah Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly tidak mengakui kepengurusan Moeldoko. Menkumham hanya mengakui kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Namun demikian, kini dugaan itu mengemuka lagi, tepatnya setelah kubu Moeldoko mengajukan gugatan lewat jalur hukum atas keputusan yang diambil Menkumham.

PDIP yang pernah mengalami masa kelam dan kini berkuasa, seharusnya bisa bijaksana mengambil sikap. Merekah harus berpegang teguh pada prinsip agar pemerintah tidak cawe-cawe lagi urusan internal partai. 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita