GELORA.CO - Kepada siapa lagi rakyat dapat berharap jika pilar yang mereka percaya akan menjamin kesejahteraan justru runtuh akibat keserakahan?
Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang dilakoni oleh mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara, merupakan bukti keserakahan pemegang kuasa yang gagal dikendalikan. Apalagi, kasus korupsi tersebut terjadi di tengah bencana nasional Covid-19.
Pengadaan program bantuan sosial yang senilai Rp5,9 triliun tak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat. Baik akibat pemberian yang kurang layak, atau akibat komisi yang dipersyaratkan oleh mantan Mensos kepada berbagai vendor.
“Jangankan manusia, kucing pun nggak mau makan makanan kaleng dari bansos,” kata Penyidik KPK Mochamad Praswad N, di sesi diskusi melalui siaran langsung Instagram dengan tema ‘Warga Menggugat Korupsi Bansos’, Jumat (16/7) dilansir dari Antara.
Ketika masyarakat meletakkan harapan mereka pada uluran tangan pemerintah yang berjanji akan menjamin kesejahteraan mereka, Juliari justru memanfaatkan momen tersebut untuk meraup keuntungan.
KPK telah mendakwa mantan Mensos Juliari Batubara menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos COVID-19.
“Ini adalah kejahatan kemanusiaan,” kata Praswad ketika mengomentari kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara.
Kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Juliari Batubara telah bergulir selama 7 bulan, sejak Juliari bersama empat tersangka lainnya, Matheus Joko Santoro, Adi Wahyono, Ardian I M, dan Harry Sidabuke ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi pada 6 Desember 2021.
Masyarakat yang merasa dirampas haknya dengan lantang menyerukan harapan mereka agar Juliari Batubara dituntut hukuman maksimal, seperti yang telah diungkapkan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Boyamin Saiman pada pemberitaan sebelumnya.
Boyamin memprediksi, Juliari Batubara akan dituntut minimal 10 tahun, meski dalam pernyataannya, dia berharap Juliari akan dituntut untuk menjalani hukuman 20 tahun penjara.
Namun, KPK sebagai lembaga yang memiliki kemampuan untuk memperjuangkan tuntutan masyarakat, kini memperoleh tekanan dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Lagi-lagi masyarakat harus dibuat ketar-ketir oleh keadaan, yang bahkan hanya bertujuan untuk menuntut keadilan atas tindak korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial.
Tepat dua hari sebelum sidang pembacaan putusan hakim untuk kasus korupsi ekspor benih lobster dilaksanakan, Dewan Pengawas (Dewas) KPK memutuskan bahwa Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, yang merupakan penyidik kasus korupsi bansos, telah melakukan pelanggaran kode etik saat melakukan pemeriksaan saksi Agustri Yogasmara alias Yogas.
Adapun pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh kedua penyidik tersebut adalah perundungan atau pelecehan kepada saksi dalam kasus korupsi bansos. Saksi melaporkan bahwa perundungan terjadi ketika dilakukan penggeledahan di rumah Yogas pada tanggal 12 Januari 2021 dan pemeriksaan Yogas di Gedung KPK pada tanggal 13 Januari 2021.
Kedua penyidik tersebut dijatuhi hukuman yang berbeda, dengan Praswad dijatuhi sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama 6 bulan dan Nor Prayoga diberi teguran tertulis 1 dengan masa berlaku hukuman selama 3 bulan.
Putusan tersebut dikeluarkan ketika kasus korupsi bansos masih dalam proses penyelesaian. Hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat, bahkan terdapat spekulasi bahwa putusan tersebut dapat dimanfaatkan oleh para terdakwa korupsi bansos untuk meringankan hukuman mereka.
Indonesia Corruption Watch (ICW) turut menanggapi putusan Dewas KPK terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh dua orang penyidik KPK dalam kasus korupsi bansos.
“ICW tidak sepakat hal tersebut naik pada proses persidangan. Sebaiknya menunggu putusan (kasus bansos),” kata Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana ketika dihubungi oleh ANTARA, Sabtu (17/7).
Kurnia juga menekankan bahwa tidak ada urgensi untuk mempercepat proses pembacaan putusan, terlebih ketika terdapat kabar bahwa internal KPK telah memberi peringatan kepada Dewas KPK terkait kekhawatiran penggunaan putusan (Dewas KPK) dalam persidangan Juliari Peter Batubara.
“Apabila kabar bahwa internal KPK telah memperingati Dewas KPK terbukti benar, maka kami layak mempertanyakan apa maksud Dewas KPK untuk tetap memaksakan persidangan itu,” kata Kurnia menambahkan.
ICW juga mengekspresikan kekhawatiran terkait keberpihakan Dewas KPK apabila dilihat dari putusan tersebut, juga kemungkinan Dewas KPK mengabaikan peringatan dari internal KPK.
“Jangan sampai justru dewan pengawas KPK menjadi satu bagian dari pimpinan KPK yang juga menginginkan perkara bansos ini tidak terungkap secara tuntas,” kata Kurnia.
Pemberian sanksi kepada dua penyidik KPK menggambarkan tantangan baru bagi lembaga tersebut untuk memperjuangkan keadilan masyarakat di tengah pandemi, khususnya terkait kasus korupsi.
Apabila melihat kembali pada kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, KPK terlihat mulai meringankan tuntutannya.
Pada kasus korupsi sebelumnya, KPK dengan agresif menuntut 10 tahun penjara (kasus suap dana hibah KONI oleh mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi). Kini, KPK hanya menuntut Edhy Prabowo untuk menjalani masa tahanan selama 5 tahun (dikabulkan pada sidang putusan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis), setengah lebih ringan daripada yang sebelumnya.
Padahal, Edhy Prabowo melakukan tindakan tersebut ketika ekonomi negara sedang mengalami keterpurukan akibat COVID-19. Berbeda dengan Imam Nahrawi, yang terjerat kasus sebelum pandemi terjadi di Indonesia.
Kehadiran Dewas KPK, terutama pada kasus korupsi bansos, seolah menjadi angin segar bagi para koruptor. Hal ini terkait dengan kemampuan Dewas KPK memberi sanksi kepada penyidik KPK ketika perkara korupsi masih bergulir.
Sejak kehadiran Dewas KPK, taring KPK kian melemah di hadapan para koruptor. Kemampuan KPK untuk menuntut keadilan rakyat berangsur-angsur dilemahkan.
Di tengah pandemi, masyarakat tidak hanya dihadapi oleh krisis kesehatan dan ekonomi. namun juga menghadapi krisis keadilan.[jawapos]