Jaksa Agung Harus Kasasi Skandal Pinangki-Djoko Tjandara, atau Mundur demi Ketenteraman Umum

Jaksa Agung Harus Kasasi Skandal Pinangki-Djoko Tjandara, atau Mundur demi Ketenteraman Umum

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Diskon hukuman kepada dua orang pelaku kasus suap, pemufakatan jahat, dan pencucian uang dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, memunculkan protes masyarakat.

Bahkan, Jaga Adhyaksa (JA) menuntut Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk melakukan kasasi atas pemangkasan hukuman yang dilakukan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta kepada Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra.

PT DKI dalam putusan banding Pinangki memangkas masa hukuman 10 tahun menjadi 4 tahun. Sementara untuk Djoko Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun.

"Saatnya memberi ultimatum kepada Jaksa Agung, ST Burhanuddin, agar tidak bermain-main dengan kepentingan hukum dan ketenteraman umum. Kasasi demi kepentingan hukum atau mundur demi ketenteraman umum," ujar pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jaga Adhyaksa, David Sitorus, saat dihubungi, Sabtu (31/7).

David menuturkan, kasasi demi kepentingan hukum merupakan upaya hukum luar biasa terhadap sebuah putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan selain Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum luar biasa ini hanya bisa diajukan sekali oleh Jaksa Agung Burhanuddin.


Karena itu, kata David, Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak perlu mengulur-ulur waktu untuk memutuskan kasasi atau tidak terhadap putusan Pinangki yang sudah berkekuatan hukum tetap di tingkat Pengadilan Tinggi DKI.

Khusus untuk Djoko Tjandra, ia meminta agar sebaiknya jaksa penuntut umum (JPU) segera mengajukan kasasi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

"JPU tidak perlu mengulur-ulur waktu untuk menjawab apakah akan dilakukan kasasi atau tidak terhadap Djoko Tjandra. Daripada sengaja mengulur-ulur waktu, sebaiknya segera dijawab dan diputuskan," tegasnya.

Menurut David, para pelaku kejahatan dalam kasus fatwa MA yang dilakukan bersama-sama oleh Pinangki, Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking, sering kali mendapatkan keistimewaan.

Karena itu pula organisasi masyarakat sipil menyorotinya dan beramai-ramai mengkritik kejanggalan penanganan kasus tersebut.

"Pinangki, misalnya, dituntut hanya 4 tahun; juga tidak ada kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI mendiskon hukumannya. Selanjutnya, meski sudah berkekuatan hukum tetap, jaksa juga belum mengeksekusi Pinangki dari tahanan Kejaksaan Agung," paparnya.

"Hari Rabu kemarin putusan Djoko Tjandra dipangkas lagi. Anita Kolopaking yang hanya dituntut terkait pemalsuan surat," sambung David heran.

Soal itu, David mengacu nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tentang Pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara di Luar Kementerian Hukum dan HAM tahun 2011 pada Pasal 4 ayat (7) poin c.

Di dalam aturan tersebut disebutkan, penempatan tahanan di Cabang Rutan Kejaksaan RI dibatasi sampai perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Sementara perkara Pinangki sudah berkekuatan hukum tetap tapi masih ditahan di Rutan Kejaksaan Agung.

Belum lagi orang-orang internal Kejaksaan RI yang diduga terlibat dalam skandal tersebut, menurut David, justru mendapat promosi jabatan. Begitu juga sosok Rahmat, pemilik Koperasi Nusantara yang mempertemukan Pinangki dengan Djoko Tjandra sama sekali tidak diproses dan diperiksa.

Menurutnya, hal tersebut membenarkan pernyataan Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak, tempo hari yang menyebut ada kekuatan besar dalam kasus ini.

"Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat masyarakat tidak percaya dengan institusi Kejaksaan RI," pungkas Magister Hukum Universitas Indonesia ini. (RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita