GELORA.CO - INI menteri ngawur ya, meski dia punya riwayat belajar formal di salah satu institusi tentang studi kemiliteran.
Merasa memiliki keilmuan di bidang kemiliteran, seenak jidat nyatakan kalau saat ini Indonesia sedang Darurat Militer. Hei menteri, kalaupun ada kedarutatan militer, bukan Anda yang nyatakan. Terlebih dahulu presiden sebagai panglima tertinggi negara ini yang mengumumkannya.
Lantas apa dasar pijakanmu menyatakan saat ini Indonesia darurat kemiliteran? Apa hanya ingin menarik permakluman kalau militer dan segenap alutsistanya untuk kemudian akan "mengganyang" rakyat yang berseberangan dengan pemikiran dan langkah rezim saat ini...?
Ataukah memang ucapanmu ini merupakan skenario berikutnya dari rezim dalam settingan guna membungkam rakyat menuntut haknya?
Atau juga untuk menakut-nakuti semua elemen termasuk mahasiswa, pelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum kota, dan lainnya yang mulai sadar bahwa rezim ini gagal dalam mengemban amanah rakyat, dan sudah mulai bergerak?
Lantas akankah nantinya ada pembenaran ketika terjadi pemberangusan melalui tindakan militer terhadap elemen-elemen tersebut?
Ucapanmu itu menjadi liang bagimu sebagai prasasti ketidakmampuan, ketidakberhasilan, dan sorotan publik sehingga patut nyinyir dan menyarankan mundur dari jabatanmu.
Ada pertanyaan untukmu: Pahamkah kata kombatan yang disodorkan dalam kerangka berfikir sesatmu itu?
Kau jadikan rakyat saat ini dalam sebuah analogi "berinstrumen" fals dengan menyebutkan kombatan.
Sadarkah kau bahwa kombatan yang kau maksudkan adalah penduduk yang secara aktif ikut serta dalam suatu peperangan, sedangkan penduduk sipil merupakan golongan penduduk yang tidak berhak untuk ikut serta dalam suatu pertempuran.
Lantas apa terminologi kombatan maksudmu, dalam korelasinya pada pendemi ini? Apakah hanya sekadar ingin mengejar status hukum yang harus disandang oleh rakyat saja, seperti yang tercantum di pasal 43 (2) dalam Protokol Tambahan (AP1) dari Konvensi Jenewa 1949.
Disebutkan bahwa "Anggota angkatan bersenjata suatu Pihak yang terlibat konflik (kecuali tenaga medis dan rohaniwan seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Konvensi Ketiga) adalah kombatan yang bermakna memiliki hak untuk berpartisipasi langsung dalam peperangan.
Selain memiliki hak untuk berpartisipasi dalam peperangan, kombatan dalam juga bisa ditangkap, seperti yang tercantum dalam konvensi Jenewa tahun 1949?
Kalau memang jawabannya ya, jangan pula kau lupa kalau kombatan memiliki hak sebagai Tahanan Perang ketika ditangkap selama konflik bersenjata, dan tidak dibenarkan dilakukan pembantaian.
Tampak jelas kenakalan berfikirmu yang condong ke arah kemunafikan dan kepicikan dalam konstruksi mempertahankan kekuasaan tuan dan kolega sejawatmu.
Kau arahkan nasib rakyat sebagai pihak yang semakin lemah dalam perjuangannya melawan Covid-19 dan perjuangannya untuk tetap bisa hidup dengan berbagai aturan menyengsarakan sealama ini.
Kau jerumuskan rakyat ke dalam situasi semakin tidak nyaman untuk diwajibkan mematuhi aturan hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata (dalam konteks rakyat sebagai kombatan) pada situasi kedaruratan militer.
Dan semakin tercium, ketika akan memposisikan rakyat hanya sebagai "tawanan perang", yang pada akhirnya hanya menggantungkan kebijakan dari pihakmu yang sesungguh-sungguhnya telah gagal menjadi garda terdepan membela hak-hak dan kebebasan mereka.
Pak Menteri (Muhadjir), inikah maksudmu?
(Penulis adalah wartawan senior dan advokat)