GELORA.CO - Pro dan kontra penggunaan ivermectin sebagai obat COVID-19 saat ini masih terus bergulir. Obat yang memiliki izin edar sebagai obat cacing ini kini mulai diburu masyarakat. Padahal obat ini merupakan obat keras.
Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memang telah resmi mengeluarkan izin uji klinik terhadap obat cacing ini untuk pengobatan pasien COVID-19.
Namun karena banyak yang mengkonsumsi padahal uji klinik masih dilakukan, dikhawatirkan obat ini malah membahayakan lantaran tak dikonsumsi dengan benar.
Tanggapan turut diberikan oleh Ahli Epidemiologi UI Pandu Riono, dalam konferensi pers BPOM terkait penggunaan ivermectin, Jumat (2/7).
"Tadi sudah semua mendengar bahwa ini obat keras. Obat ini bisa merugikan, harapannya bisa memberikan manfaat tetapi juga bisa merugikan kalau penggunaannya tidak sesuai dengan indikasi yang sesuai, dosis yang sesuai, dan berapa lama diberikan," kata Pandu.
Selain itu, Pandu juga menyampaikan kekecewaannya lantaran ada segelintir orang termasuk pejabat publik yang membagi-bagikan obat ini. Pandu bahkan menyebutkan obat ini dianggap seperti permen.
"Dan yang membuat saya kecewa ketika obat ini seperti permen. Jadi dibagi-bagi sekelompok orang, bahkan menurut saya oleh pejabat publik yang ngerti kalau itu tidak etis dan bukan wewenangnya untuk membagikannya kepada masyarakat, bahwa ini obat berbahaya," jelasnya.
Pandu meminta agar masyarakat yang dinilai punya pengaruh besar untuk mengedukasi masyarakat dengan tidak mempromosikan sesuatu yang belum teruji. Dengan kata lain, ivermectin saat ini masih dalam tahap uji klinis sehingga belum bisa dipastikan keampuhannya untuk pasien corona.
"Semuanya percaya, dari pejabat, masyarakat, selebriti, melakukan hal-hal yang menurut saya tidak mengedukasi bahkan mempromosikan sesuatu yang belum benar. Mohonlah pada siapa pun yang punya banyak pengaruh, kita harus menjadi edukator masyarakat," kata Pandu.
"Jangan kita mendidik seperti dengan obat ini kita sembuh. Jadi jangan percaya dengan klaim-klaim obat yang belum tentu benar. Tanpa riset yang baik, kita harus skeptis," tutup Pandu. []