GELORA.CO - Yayasan lembaga hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik adanya pasal hukuman bui bagi yang menghina Presiden hingga DPR dalam RUU KUHP. YLBHI menilai pasal tersebut terkesan aneh.
"Ini aneh banget sih," kata Ketua YLBHI, Asfinawati, kepada wartawan, Selasa (8/6/2021).
Asfinawati mengatakan pasal itu menunjukkan kalau Pemerintah dan DPR antikritik. Menurutnya hal itu juga tak sesuai dengan UUD 1945.
"Ini menunjukkan DPR dan Pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau ga boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi," ujarnya.
Asfinawati juga menilai pasal itu bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat setiap orang. Dia berharap pasal itu dihapus.
"Sangat bertentangan. Kita kan negara pihak Kovenan Hak Sipil Politik, terlebih amandemen Konstitusi sudah memasukkan HAM. Harus dihapus pasal-pasal penjajah begini," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, RUU KUHP mengancam orang yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.
Delik di atas masuk dalam Bab IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA Bagian Kesatu, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Berikut Pasal 353 RUU KUHP yang dikutip detikcom, Senin (7/6/2021):
(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Ancaman diperberat apabila menghina lewat media sosial yang tertuang dalam Pasal 354 RUU KUHP. Berikut bunyi lengkap Pasal 354 RUU KUHP:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Hukuman penghinaan menjadi lebih berat maksimal 3 tahun penjara apabila menimbulkan kerusuhan. Hal itu tertuang dalam Pasal 240 KUHP:
Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Selain mengancam penghina pemerintah, RUU KUHP mengancam penghina Presiden/Wakil Presiden di media sosial dengan hukuman 4,5 tahun penjara. Ancaman ini paling tinggi dalam delik menghina pemerintah/lembaga negara. Hal itu tertuang dalam Pasal 219 RUU KUHP:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal Hina Presiden dan Lembaga Negara Delik Aduan
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP merupakan delik aduan. Karena delik aduan, aparat tidak bisa menindak apabila Presiden/Wapres tidak mengadu ke aparat kepolisian. Hal itu diayur dalam pasal 220 ayat 1 dan 2:
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Hal itu juga dijelaskan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej. Eddy menyatakan RKUHP mengungkapkan, pasal tersebut adalah delik aduan dan disebutkan secara tegas mengkritik kebijakan pemerintah, bukan penghinaan.
"Kadang-kadang kita ini, ada orang, tipe orang bicara dulu berpikir. Kebanyakan bicara dulu baru mikir. Ada yang mikir dulu, baru bicara. Mengapa tetap mempertahankan pasal penghinaan kepada presiden? Simpel saja. Kita buka semua KUHP di semua negara di dunia ini, pasti ada bab yang berjudul 'kejahatan yang melanggar terhadap martabat kepala negara asing'. Simpelnya begini. Kalau kepala negara asing saja martabatnya dilindungi, masak kepala negara sendiri martabatnya tidak dilindungi?" kata Eddy kepada wartawan di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jaksel, Jumat (9/4/2021).
Demikian juga pasal penghinaan lembaga negara di RUU KUHP. Pasal itu juga merupakan delik aduan seperti yang tertuang dalam pasal 353 ayat 3. []