TITAH Presiden Jokowi kepada Kapolri untuk memberantas preman di perbatasan Dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas Koja, Jakarta Utara, langsung dijawab dengan tertangkapnya puluhan preman yang meresahkan para sopir truk.
Bicara Tanjung Priok, kota yang menjadi pelabuhan utama di Jakarta ini menjadi salah satu lumbung ekonomi yang dipenuhi para jagoan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang etnis, karena secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota Jakarta.
Dilansir dari Sejarah Jakarta, ada dua etnis yang pernah eksis dalam percaturan onderwereld (dunia hitam) di Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya. Yaitu kelompok Bugis dan Banten. Salah satu nama jagoan yang legendaris sebagai penguasa Pelabuhan Tanjung Priok hingga akhir tahun 50an adalah Lagoa, tokoh masyarakat Bugis yang bernama asli Labuang De Passore. Selain sebagai tokoh masyarakat, Lagoa juga dikenal sebagai seorang jago yang merangkap menjadi Mandor Pelabuhan.
Nama Lagoa sendiri juga diabadikan menjadi salah satu nama kelurahan di Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Para buruh menganggapnya mandor sebagai tokoh jago yang disegani, bahkan dianggap sebagai pemimpin dari kalangan etnisnya. Tidak hanya di kelompok Bugis-Makassar, Lagoa juga dipandang sebagai tokoh masyarakat yang mempunyai kharisma oleh kelompok lain yang ada di seputar Pelabuhan Tanjung Priok.
Di Pelabuhan Tanjung Priok terdapat tokoh lain berasal dari Banten yang berprofesi sebagai mandor, yaitu Haji Tjitra yang bernama lengkap Haji Tjitra bin Kidang. Namanya malang melintang sebagai penguasa penguasa Pelabuhan Tanjung Priok sejak akhir tahun 1920an yang direbutnya melalui pertarungan sengit dengan jago yang juga berasal dari Banten.
Kedatangan Lagoa di Pelabuhan Tanjung Priok sedikit banyak mengusik Haji Tjitra bin Kidang. Perseteruan kedua tokoh legendaris di Pelabuhan Tanjung Priok pun terjadi karena perebutan kekuasaan. Bahkan, nama keduanya kala itu menghiasi berita di koran-koran Ibu Kota.
Kisah kedua tokoh Mandor Pelabuhan Tanjung Priok dari berbeda etnis ini walaupun dimulai dengan perseteruan namun berakhir dengan cerita bahagia. Pasalnya, kedua tokoh ini mampu menjadi juru perdamaian peredam konflik yang pernah terjadi di antara kelompoknya, bahkan dengan komunitas etnis lainnya.
Puncaknya saat ditandai dengan diangkatnya Lagoa menjadi menantu oleh Haji Tjitra bin Kidang sebagai wujud perdamaian dan persaudaraan antara etnis Banten dan Bugis-Makassar di Tanjung Priok.
Kini, Tanjung Priok yang kita kenal sekarang, sudah berubah jauh dan tidak sekeras dahulu, beragam etnis tinggal disana hidup dengan rukun. []