GELORA.CO - Bukan hanya sembako, biaya pendidikan rencananya juga dikenai PPN. Dalam pasal 4A ayat (3) draf perubahan UU KUP, pemerintah menghapus jasa pendidikan dari daftar objek non-jasa kena pajak (JKP). Sebelumnya, mengacu UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sekolah dikecualikan dari daftar objek PPN.
Sebagai catatan, Indonesia saat ini masih menganut sistem PPN single tariff sebesar 10 persen. Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen.
Sistem single tariff pun rencananya diubah menjadi multitarif. Artinya, tarif PPN berdasar barang reguler dan barang mewah. Pertama, tarif sebesar 5 persen untuk jasa yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan menengah-bawah.
Kedua, tarif sebesar 25 persen bagi jasa tergolong mewah.
Sekolah yang tergolong mahal bakal dibanderol PPN dengan tarif normal, yakni 12 persen. Sedangkan sekolah negeri, misalnya, dikenai tarif 5 persen. Perincian tarif PPN sekolah atau jasa pendidikan berdasar jenisnya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) bila beleid perubahan UU KUP jadi disahkan.
Saat raker dengan Komisi XI DPR RI kemarin (10/6), Menkeu Sri Mulyani Indrawati mendapat sejumlah sorotan dari anggota dewan perihal PPN tersebut. ’’Bahwa dalam situasi seperti ini kok pemerintah melakukan hal yang tidak justru memberikan kenyamanan bagi mereka dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,” cetus anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo.
Menjawab sorotan anggota dewan, Sri Mulyani menegaskan bahwa draf tersebut akan dibahas pemerintah dan DPR. Dia menyayangkan beredar luasnya draf itu sebelum ada pembahasan. Akibatnya, banyak pihak yang tak memahami secara menyeluruh. ’’Yang keluar sepotong-sepotong, yang kemudian di-blow up menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal, hari ini fokus kita adalah pemulihan ekonomi,” ungkap dia.
Ani, sapaan karib Sri Mulyani, mengimbau seluruh pihak sabar dan menahan diri. Sebab, harus ada pembahasan antara pemerintah dan DPR sesuai etika politik yang berlaku. ’’Itu semua kita presentasikan secara lengkap, by sector, by pelaku ekonomi, kenapa kita mengusulkan pasal ini, landasannya apa, dan kalaupun itu adalah arah yang benar apakah harus sekarang, apakah harus enam bulan, apakah harus tahun depan. Itu semuanya nanti kita ingin membahas secara penuh dengan komisi XI,’’ jelas bendahara negara tersebut.
Sementara itu, pemerhati pendidikan Indra Charismiadji menyayangkan rencana pengenaan PPN di sektor pendidikan. Dampak terdekat penerapan kebijakan itu ialah kenaikan biaya pendidikan. Orang tua bakal diminta menambah biaya untuk PPN. ”Dampaknya kalau SPP naik apa? Banyak anak putus sekolah dong,” ujarnya. Mengingat, kondisi ekonomi saat ini sedang berat. Banyak orang tua yang terkena PHK.
Di sisi lain, pemerintah dinilai belum melaksanakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Artinya, siswa SD dan SMP wajib dibiayai pemerintah sehingga angka partisipasi murni di tingkat tersebut 100 persen.
Sayang, masih ada 20 persen anak usia SMP yang belum bersekolah. Sementara itu, untuk anak usia SD, masih ada 2 persen yang tidak mengenyam pendidikan. ”Sekarang faktanya kalau belum dilaksanakan, tapi akses mau ditutup, dipersulit lagi, ya berarti pemerintahnya inkonstitusional,” katanya.
Berbeda halnya bila pemerintah menyiapkan sekolah negeri dengan daya tampung seluruh siswa. Jika itu terjadi, wajar saja pemerintah menarik PPN ke sekolah swasta. Sebab, masuk sekolah swasta merupakan pilihan. Bukan keterpaksaan karena daya tampung di sekolah negeri tak mencukupi.[jpc]