GELORA.CO - Meninggalnya Wakil Bupati Sangihe, Helmut Hontoing secara tiba-tiba di pesawat kerap dikait-kaitkan dengan penolakan terhadap izin tambang yang diterbitkan untuk PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Terlebih wabup disebut sempat berkirim surat ke Kementerian ESDM untuk membatalkan kegiatan tambang PT TMS.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin turut menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya Wabup Sangihe. Dia mendoakan agar almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Sang Pencipta.
Duka mendalam itu disampaikan saat dirinya berbincang dengan obrolan santai berjudul “Don Adam vs Sammy: Kontroversi Pengelolaan Minerba” yang diunggah di akun YouTube Don Adam Channel, Senin (21/6).
“Soal wabup wafat kita ikut belasungkawa. Kita doakan supaya mendapatkan tempat yang terbaik,” ujarnya dalam acara yang dipandu Sammy Notaslimboy dan Adamsyah Wahab itu.
Selanjutnya, Ridwan Djamaluddin meluruskan sejumlah spekulasi yang berkembang berkaitan dengan izin tambang di Sangihe. Ridwan mengaku kaget jika kemudian wafatnya Wabup Sangihe dikaitkan-kaitkan dengan kegiatan tambang ini.
Dia tidak menampik bahwa Helmut Hontoing pernah berkirim surat kepada pemerintah. Tapi surat yang ditujukan kepada Menteri ESDM itu tanpa nomor surat dan identitas surat Pemkab.
“Jadi kesannya surat pribadi dari wabup,” ujarnya.
Bagi Ridwan, isi berupa pandangan almarhum mengenai tambang sebagai upaya untuk memberikan perhatian pada isu-isu yang berkembang.
Setelah Menteri ESDM mendapat surat tersebut, Ridwan lantas mendapat tugas untuk berkoordinasi dengan Pemkab Sangihe dan Pemprov Sulawesi Utara.
Dalam kesempatan ini, Ridwan turut meluruskan perihal Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut. ia menjelaskan bahwa urusan tambang ini sudah mendapat izin dengan status Kontrak Karya pada tahun 1997 atau di zaman orde baru. Setelah izin terbit, tentu ada proses-proses yang berjalan.
Mulanya, Kata Ridwan, izin tambang itu lebih luas dari Pulau Sangihe, yaitu 123.850 hektare sementara Pulau Sangihe hanya seluar 73 ribu hektare.
Dugaan Ridwan, waktu pertama kali izin terbit yang jadi pertimbangan adalah luasan wilayah untuk eksplotasi mencari tempat potensial untuk dijadikan tambang. Sebab di dalam industri pertambangan biasa memang diberi luasan eksplorasi terlebih dahulu.
“Yang pertama itu wilayah dulu ya, belum langsung kasih izinnya, kemudian orang eksplorasi oh ketahuan nih di sini. Luasan diberikan karena belum tentu ada kandungan, belum tahu di mana,” urainya.
Setelah dicari-cari kemudian diciutkan. Penciutan pertama kurang lebih 83 ribu pada tahun 2015.
Kemudian dilakukan fisibility study kelayakan hingga akhirnya diputuskan untuk diberikan 42 ribu hektare pada tahun 2018.
“Itupun dengan masih banyak syaratnya,” ujar Ridwan yang di tahun tersebut belum menjadi Dirjen Minerba.
“Soal luasan ini sekali lagi, bahasanya publik kan separuh luas Pulau Sangihe, kalau dilihat 42 ribu ha. Tapi data teknis memperlihatkan bahwa daerah potensial itu 65 hektare sekian,” urainya.
Artinya, luas wilayah tambang yang diberikan adalah 42 ribu hektare, tapi yang dijadikan lubang tambang hanya 65 hektare.
“Jadi enggak akan 42 ribu itu dibongkar habis, diangkat tanahnya, diobrak-abrik, tidak begitu konsepnya. Kan kita juga bisa lihat di perusahaan-perusahaan yang lain. Luas itu pasti lebih luas, karena dia butuh tempat infrastruktur, selalu begitu,” tutupnya.(RMOL)