GELORA.CO - Partai ultra kanan Yahudi dan partai berbasis Islam, Ra'am, membentuk koalisi politik untuk menggulingkan Perdana Menteri benjamin Netanyahu.
Kedua partai oposan tersebut berkoalisi agar bisa membangun pemerintahan sesuai mandat yang diberikan Presiden Reuven Rivlin pada 5 Mei 2021.
Yair Lapid, tokoh oposan, harus mengumumkan koalisi mayoritas selambat-lambatnya Rabu (2/6) besok, agar Benjamin Netanyahu tergeser.
Kalau tidak, maka Benjamin akan kembali berpeluang membentuk pemerintahan sesuai tradisi politik di Knesset.
Harapan bagi Netanyahu menyusut sejak bekas sekutu politiknya, Naftali Bennett, menyatakan dukungan terhadap koalisi Yair Lapid, Minggu (30/5). Bennett adalah bekas komandan pasukan khusus, Sayeret Matkal, yang dituduh bertanggungjawab atas pembantaian warga sipil Qana dalam perang di Lebanon.
Seusai lama mengabdi di pemerintahan Netanyahu, Bennett akhirnya membelot dan membentuk Partai Yamina.
Dalam pemilu Maret silam, Yamina mendapat 6,2 persen suara. Adapun Partai Likud mendapat 24,19 persen.
Sementara Yesh Atid pimpinan Yair Lapid mendapat 14 persen suara. Posisi itu menempatkan Bennett sebagai juru penentu dalam proses pembentukan koalisi.
Menurut laporan media-media lokal, Bennett dan Lapid sepakat menggilir jabatan perdana menteri dalam "Kabinet Perubahan" selama masing-masing dua tahun.
Bennett akan didahulukan, sementara Lapid menyusul memerintah Israel pada tahun ketiga. Koalisi anti-Netanyahu yang sedang digodok di Yerusalem dikhawatirkan rapuh, karena menggabungkan hampir semua spektrum politik, yakni partai kiri, tengah dan kanan jauh.
Sudah begitu, koalisi Lapid juga dibangun di atas dukungan partai Arab, Ra'am, yang menolak program politik pro-pemukim Yahudi milik Bennett.
Koalisi lintas ideologi melawan Netanyahu
Menurut laporan Times of Israel, Partai Ra'am akan mendukung pemerintahan Bennett dan Lapid secara aktif di parlemen, dan tidak menjadi bagian dari kabinet pemerintah.
Sebagai gantinya, kedua pemimpin setuju menghormati tuntutan Ra'am terkait nasib warga Arab. Tuntutan itu antara lain jaminan anggaran dana untuk memerangi tingkat kriminalitas yang tinggi di komunitas Arab, dan mengakui hak Suku Arab Badui yang selama ini dianggap ilegal.
Ketua Umum Ra'am, MK Mansour Abbas, juga menuntut pemerintahan baru agar memperhatikan kepentingan minoritas Arab. Abbas dan Bennett bertemu akhir April silam.
Bennett dikabarkan sepakat untuk tidak menganeksasi wilayah atau mengizinkan pembangunan pemukiman Yahudi baru di Tepi Barat, selama dia berkuasa.
Dia juga ingin menghentikan konstruksi pemukiman yang masih berlangsung, menurut laporan Channel 12.
Netanyahu juga sempat berusaha mendekati Partai Ra'am saat diberi kesempatan membentuk pemerintahan usai pemilu lalu.
Namun rekan koalisinya dari partai agamis menolak bekerja sama. Meski tidak punya mandat, Netanyahu akhir pekan lalu berusaha menarik Bennett dan musuh bebuyutannya, Gideon Saar, untuk berkoalisi.
Keduanya ditawari kursi perdana menteri yang diputar bergilir di antara ketiga politisi. Di dalam sebuah video di Twitter, Netanyahu mendesak Bennett dan Saar untuk "mencegah terbentuknya pemerintahan kiri yang berbahaya," di Israel.
Dia menyebutnya sebagai "momentum yang krusial bagi keamanan, identitas dan masa depan negara." Saar yang seharusnya mendapat giliran pertama mengisi jabatan perdana menteri, menolak tawaran tersebut.
Seusai tenggat pengumuman koalisi mayoritas hasil pemilu pada 3 Juni, oposisi Israel diberi waktu selama 21 hari untuk meyusun kabinet dan menominasikan perdana menteri.
Jika gagal, pemilihan umum legislatif kelima akan digelar, kemungkinan di musim gugur, antara Oktober-November. []