Mengada-ada, Penjelasan DPR Dan Pemerintah Dalam Sidang Formil UU Cipta Kerja Harus Ditolak

Mengada-ada, Penjelasan DPR Dan Pemerintah Dalam Sidang Formil UU Cipta Kerja Harus Ditolak

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Memperhatikan sidang uji formil UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang digelar Mahkamah Konstitusi pada 17 juni 2021, publik menjadi semakin yakin bahwa UU CK cacat formil.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, berbagai isu yang dipersoalkan oleh KSPI melalui pemohon perkara No. 6/PUU-XIX/2021, DPR dan pemerintah tidak mampu menjawab. Bahkan cenderung mengada-ada dan buang badan dari pertanggung jawaban kepada buruh dan rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Said Iqbal mengatakan bahwa semua dalil, argumentasi, dan bukti-bukti yang diajukan oleh anggota KSPI yaitu pemohon Pperkara No. 6/PUU-XIX/2021 oleh Riden Hatam Azis dkk, tidak satu pun yang dibantah oleh DPR dan pemerintah di dalam persidangan.

"Antara isi gugatan yang diajukan pemohon dengan penjelasan pemerintah dan DPR tidak nyambung," ujar Said Iqbal, Sabtu (19/6).

Menurutnya, dengan tidak adanya bantahan dari DPR dan pemerintah maka secara "a contrario" dapat dimaknai bahwa pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah mengakui UU CK cacat formil, karena dibentuk dengan tata cara dan prosedur yang bertentangan dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Oleh karena itu, KSPI meminta hakim MK untuk menolak penjelasan dan jawaban DPR dan pemerintah tersebut, serta meminta hakim MK untuk mengabulkan seluruhnya gugatan pemohon yaitu membatalkan keseluruhan isi pasal pasal UU CK karena cacat formil dalam perencanaan dan proses pembuatannya.

Said Iqbal menambahkan, merujuk Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, apabila satu undang-undang bertentangan dengan undang-Undang lain, maka hal itu berarti bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dan oleh karenanya harus pula dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum".

KSPI punya beberapa alasan sehingga hakim MK mengabulkan permohannya. Pertama, melalui Pemohon Perkara No. 6/PUU-XIX/2021, KSPI atas nama Riden Hatam Azis dkk, pada pokoknya mendalilkan bahwa penetapan RUU CK dalam Prolegnas 2020 tidak sah karena tidak memenuhi satu pun syarat dari 10 persyaratan pembentukan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU PPP dan Peraturan DPR mengenai Prolegnas yang kemudian diubah dengan Peraturan DPR mengenai Pembentukan UU.

Untuk membuktikan dalil tersebut anggota KSPI yang menjadi pemohon dalam permohonannya menguraikan bahwa UU CK tidak pernah diperintahkan pembentukannya oleh UUD 1945, TAP MPR, ataupun UU yang lain. Pembentukan UU CK juga tidak didasari oleh adanya rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR.

"Jangankan menjadi rencana strategis, DPR bahkan baru mengetahui rencana pembentukan UU CK setelah datang usulan dari Presiden," kata Said Iqbal.

UU CK juga tidak termasuk dalam RUU Prolegnas periode keanggotaan DPR sebelumnya dan bukan pula dibentuk berdasarkan hasil pemantauan dan peninjauan UU yang dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.

Apabila didasari oleh Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) juga tidak beralasan menurut hukum. Sebab, visi yang ingin dicapai oleh UU CK menyimpang dari visi yang ditetapkan dalam UU 25/2004 Tentang SPPN dan UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025.

"Visi pembangunan nasional yang ingin dicapai UU CK adalah 'Visi Indonesia 2045' atau 'cita-cita Indonesia maju 2045' sedangkan visi pembangunan nasional yang ditetapkan dalam UU SPPN dan UU RPJPN periode waktunya terbatas sampai dengan tahun 2025," tutur Said Iqbal.

Dengan sendirinya RPJMN pun tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan UU CK sebab RPJMN tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam UU SPPN dan UU RPJMN. Lebih dari itu, jangkauan RPJMN juga dibatasi paling lama hanya lima tahun, yaitu sampai tahun 2024.

Pembentukan UU CK juga tidak beralasan hukum jika didasari karena alasan adanya aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Sebab faktanya sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan tahap pengundangan, UU CK justru mendapat penolakan keras dari ratusan juta rakyat Indonesia sebagaimana disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan di daerah.

"Dari seluruh dalil, argumentasi, dan bukti-bukti yang disampaikan oleh KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 di atas, tidak satu pun yang dibantah oleh DPR dan pemerintah," terang Said Iqbal.

Kedua, penetapan RUU CK dalam Prolegnas 2020 menurut KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 juga cacat formil sebab merujuk ketentuan Pasal 19 UU PPP sebelum sebuah RUU ditetapkan dalam Prolegnas, Naskah Akademik dari RUU bersangkutan semestinya sudah diterima DPR.

"Faktanya, RUU CK ditetapkan dalam Prolgenas 2020 pada Rapat Paripurna DPR tanggal 22 Januari 2020, sedangkan Naskah Akademik RUU CK baru diserahkan pemerintah kepada DPR pada 21 hari kemudian, yaitu tanggal 12 Februari 2020," kata Said Iqbal.

Ketiga, DPR dan pemerintah juga tidak mampu membantah dalil anggota KSPI, yaitu Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021, terkait pembentukan UU CK yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan sistematika baku penyusunan perundang-undangan yang ditetapkan dalam UU PPP. Misalnya saja soal prosedur pembuatan judul undang-undang.

Dalam BAB I huruf A Lampiran II UU PPP telah ditetapkan tata cara dan prosedur pemberian judul undang-undang yang berfungsi sebagai "undang-undang perubahan". Adapun dalam BAB IV huruf E ditetapkan tata cara dan prosedur mengenai pemberian judul undang-undang yang berfungsi sebagai "undang-undang pencabutan".

Prinsip yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut adalah judul undang-undang perubahan atau undang-undang pencabutan tidak boleh menggunakan nama lain atau menggunakan nama yang berbeda dari undang-undang yang diubah atau dicabut.

Satu-satunya pengecualian hanyalah dengan menambahkan frasa "perubahan atas" atau frasa "pencabutan atas" di awal judul undang-undang perubahan atau undang-undang pencabutan. Faktanya, 78-79 undang-undang yang diubah oleh UU CK, semua judulnya diubah dan diganti dengan judul baru yaitu "Cipta Kerja". Begitu juga dengan Undang-Undang Gangguan dan Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan yang dicabut dihilangkan judulnya dan diganti dengan judul baru baru "Cipta Kerja".

Keempat, DPR dan pemerintah juga tidak mampu menjawab dalil anggota KSPI terkait tidak sesuainya penyusunan "Ketentuan Umum" dan "Ketentuan Pidana" dalam UU CK dengan tata cara dan prosedur yang ditetapkan dalam UU PPP. Merujuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan BAB I huruf C.1 butir 96 Lampiran II UU PPP, Ketentuan Umum dalam sebuah undang-undang hanya boleh dimuat dalam satu bab yang dimuat dalam BAB I.

"Faktanya, dalam UU CK terdapat banyak sekali materi Ketentuan Umum yang disusun atau diletakan secara terserak atau terpencar di sejumlah bab," sebut Said Iqbal.

Demikian pula dengan penyusunan bab mengenai Ketentuan Pidana dalam UU CK yang juga disusun atau diletakan secara terserak atau terpencar di sejumlah bab. Padahal, dalam ketentuan BAB I huruf C.3 butir 115 Lampiran II UU PPP telah dinyatakan sebuah undang-undang tidak dibenarkan memuat Ketentuan Pidana secara terserak atau terpencar melainkan harus dihimpun dalam satu bab tersediri dengan tata letak yang tidak boleh ditempatkan sebelum materi pokok atau setelah bab mengenai ketentuan peralihan.

Kuasa hukum pemohon, yaitu Nasef menambahkan bahwa masih banyak lagi dalil, argumentasi, dan bukti-bukti lain yang diajukan oleh Riden Hatam Azis, anggota KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 yang kesemunya tidak mampu dibantah oleh DPR dan pemerintah pada persidangan.

Oleh sebab itu, Nasef memohon kepada MK untuk menolak seluruh Kketerangan DPR dan pemerintah terutama yang terkait dengan gugatan KSPI melalui Pemohon Perkara No. 6/PUU-XIX/2021.(RMOL)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita