GELORA.CO - Sejumlah pasal dalam UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) direvisi.
Misalnya soal konten asusila, yang direvisi pada penyebarnya bukan pembuat.
Orang yang membuat video porno tidak dapat dijerat UU ITE, termasuk juga berkirim gambar atau konten mesum bukan niat untuk menyebarkan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan pemerintah tidak akan mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).
Menurut Mahfud, mencabut UU ITE sama saja dengan bunuh diri.
”UU ITE tidak akan dicabut. Bunuh diri kalau kita mencabut UU ITE itu,” kata Mahfud dalam jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (11/6/2021).
Ia mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai diskusi dengan melibatkan puluhan orang yang berasal dari kalangan akademisi, praktisi hukum, LSM, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politisi, dan jurnalis.
Dari berbagai diskusi itu, pemerintah mengambil keputusan hanya akan merevisi terbatas sejumlah pasal UU ITE.
Menurut Mahfud, revisi terbatas itu bersifat semantik dengan sudut redaksional.
”Akan dilakukan revisi terbatas, sifatnya semantik dari sudut redaksional, tapi substantif uraian-uraiannya,” ucap Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut mengatakan, pasal yang akan direvisi di antaranya adalah pasal 27 ayat 1 tentang dapat diaksesnya konten yang melanggar asusila.
Nantinya, dalam rencana revisi terbatas Undang-undang ITE, akan ditegaskan bahwa yang bisa dijerat pasal tersebut adalah yang menyebarkan, bukan pembuat atau pelaku dalam konten asusila.
”Sekarang ditegaskan pelaku yang dapat dijerat oleh pasal 27 ayat 1 UU ITE terkait dengan penyebaran konten kesusilaan adalah pihak yang memiliki niat menyebarluaskan untuk diketahui oleh umum suatu konten kesusilaan, jadi bukan orang yang melakukan kesusilaan," kata Mahfud.
Kemudian orang-orang yang bicara mesum atau saling kirim gambar asusila melalui elektronik namun bukan penyebar, juga tak bisa dihukum dengan UU ITE.
”Kalau orang cuma bicara mesum, orang saling kirim gambar atau buat gambar melalui elektronik, tapi bukan penyebar tidak apa-apa," katanya.
Meski tak bisa dijerat UU ITE, Mahfud menjelaskan orang yang membuat konten itu tetap mungkin dijerat hukum, tapi dengan UU lain, misalnya UU Pornografi.
”Apakah tidak dihukum? Dihukum, tapi bukan UU ITE, ada UU sendiri, misal UU Pornografi. Bisa dihukum dengan itu,” ujar Mahfud.
Hal lain yang akan direvisi adalah yang menyangkut pencemaran nama baik dan fitnah.
Mahfud mengatakan, dalam usulan revisi pasal 27 ayat 3 hasil Tim Kajian UU ITE dijelaskan pembedaan norma antara pencemaran nama baik dan fitnah.
Pembedaan norma tersebut tidak diatur pada pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berlaku saat ini sebagaimana putusan MK yang berlaku terhadap pasal tersebut.
”Di dalam usul revisi kita membedakan norma antara pencemaran nama baik dan fitnah sesuai putusan MK nomor 50/PUU-VI/tahun 2008 termasuk perubahan ancaman pidananya diturunkan," kata Mahfud.
Nantinya di dalam usulan revisi pasal 27 ayat 3 UU ITE akan memuat norma fitnah menggunakan sarana ITE sebagai delik aduan.
Dengan demikian pihak yang berhak menyampaikan aduan hanya korban langsung.
"Bukan orang lain yang tidak ada kaitannya lalu adu sendiri, itu tidak bisa. Sekarang harus orang langsung yang jadi korban," kata Mahfud.
Sementara itu Ketua Tim Kajian UU ITE sekaligus Deputi III Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo menjelaskan,
ancaman pidana pencemaran nama baik juga akan diturunkan dari 4 tahun menjadi 2 tahun.
"Tentang pencemaran nama baik itu kita uraikan, itu adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, ancamannya kita turunkan dari 4 tahun jadi 2 tahun," kata Sugeng.
Sedangkan untuk ancaman pidana yang tergolong fitnah, kata dia, ancamannya tetap 4 tahun.
"Sedangkan untuk tindak pidana yang tergolong fitnah, ini kalau dalam KUHP
diatur dalam pasal 311 itu tetap ancamannya tetap 4 tahun, kita tidak ubah," kata Sugeng.
Selain penjelasan mengenai pasal 27 ayat 1, Mahfud juga menyatakan bahwa pemerintah akan merevisi redaksional UU ITE.
Salah satu perubahan adalah menjadi delik aduan sehingga hanya korban yang dapat melaporkan.
Mahfud menjelaskan, jika ada seseorang yang menghina pribadi orang lain hanya dapat dilaporkan oleh pribadi korban atau kuasa hukum korban yang dipilih secara tertulis.
Delik aduan tersebut mengadopsi Surat Edaran Kapolri bahwa yang dapat melaporkan tindak pidana UU ITE adalah korban.
"Delik aduan, bahwa pihak yang berhak menyampaikan (laporan kasus) menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang menggunakan sarana UU ITE hanya korban yang boleh menyampaikan pengaduan," kata Mahfud.
"Yang boleh mengadu itu korban atau kuasa hukum yang resmi ditunjuk, bukan orang lain yang tidak ada kaitannya lalu mengadu sendiri, itu sekarang enggak bisa," katanya.
Tidak hanya perorangan, delik aduan pencemaran atau fitnah juga dapat dibuat oleh lembaga berbadan hukum.
Meski begitu laporan hanya ditujukan kepada pelaku individu.
"Kalau dicemarkan, difitnah itu bisa dilaporkan oleh badan hukum tetapi yang dilaporkan orang," katanya.
Mahfud mengatakan pemerintah nantinya akan membuat dua produk hukum.
Pertama, pedoman implementasi UU ITE yang akan ditandatangani Kapolri, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Jaksa Agung.
Kemudian produk hukum lainnya adalah revisi terbatas UU ITE.
Pemerintah akan mengajukan draf perubahan sejumlah pasal karet ke DPR RI.
Sumber: tribunnews