GELORA.CO - Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan coba diselesaikan dengan konsep two-state solution (solusi dua negara). Karena keduanya bisa hidup berdampingan sebagai negara berdaulat, dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama.
Hal itu dianggap menjadi solusi paling realistis, dan sudah didukung oleh serangkaian resolusi Dewan Keamanan PBB dan Sidang Majelis Umum PBB. Demikian perspektif yang mengemuka dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Palestina-Israel”, Jumat (4/6).
Acara tersebut dihadiri secara daring oleh Ketua Umum Patai Gelora, Anis Matta, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof. Komaruddin Hidayat, Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan, Aktivis Islam Kapitra Ampera dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi.
Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta mendorong pemerintah Indonesia mendorong momentum konsep penyelesaian solusi dua negara dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Setidak-tidaknya Indonesia bisa berperan menyatukan Hamas dengan Fatah, sehingga menjadi satu front vis-a-vis Israel. Jakarta diharapkan Anis bisa menjadi tuan rumah rekonsiliasi Hamas-Fatah tersebut.
Selain itu, ia menilai pembubaran Israel bisa menjadi solusi atau jalan keluar untuk mengakhiri konflik di tanah Palestina selama ini, karena berbagai upaya gagal dilakukan.
Anis menjelaskan pembubaran suatu negara merupakan hal biasa dan pernah terjadi menimpa Uni Soviet dan Yugoslavia. Setelah bubarnya Uni Soviet misalnya, kemudian muncul Rusia justru menjadi kekuatan baru global.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat menilai Indonesia sesuai amanah konstitusi tentu menentang segala penjajahan di muka bumi.
Komaruddin menyebut, elite-elite politik Indonesia tidak akan populer kalau membela Israel. Intinya, kata dia, bagaimana membantu menyelesaikan konflik.
“Ada satu gagasan bagaimana menjadi penengah, kalau kita tidak bisa merangkul keduanya. Jembatan itu kan harus kakinya terhubung. Terhubung dua kaki, yang satu adalah Palestina, yang satu Israel. Seperti kata Gus Dur, kita gak mungkin jadi penengah kalau Indonesia tidak bisa bersahabat dengan Israel. Erdogan itu keras sekali. Tapi dalam hal ekonomi dengan Israel kan jalan terus. Saudi Arabia juga berkawan baik dengan Amerika,” tuturnya.
Bicara Palestina, sambung Komaruddin, ternyata antara bahasa bisnis dan bahasa agama itu berbeda logikanya. Menurutnya, umat Islam Indonesia sangat anti Israel dan sangat pro Hamas, sementara di belakang Hamas, sambung dia, didukung Iran, dan Iran itu Syiah.
“Nah Umat Islam Indonesia itu anti Syiah, padahal Syiah di Iran paling konsisten membela Hamas anti Israel. Kita sangat dekat dengan Saudi, sementara Saudi itu bersahabat baik dengan Amerika dan juga Israel. Jadi, logika, emosi agama, logika ekonomi dan politik ini ternyata berbeda-beda. Bagi masyarakat awam kan tidak paham logika ini. Kita agak kacau kalau bicara antara politik dan teologi agama. Karena, secara politik, kalau alasan mereka karena agama, mestinya Arab Saudi investasinya paling besar ke Indonesia karena masyarakat Muslim paling banyak, tapi kita investasi nyatanya dari Tiongkok yang bukan Islam,” urainya.
Sementara pengamat politik internasional, Imron Cotan menanggapi konflik Palestina-Israel dengan pendekatan multilateral. Menurut dia, untuk menyelesaikan konflik dengan prinsip two-state solution dengan mengembalikan perbatasan Israel-Palestina ke tahun 1967 dan menetapkan Yerussalem sebagai ibukota dari Palestina dan Israel, adalah solusi yang berkeadilan.
“Kita tidak bisa memaksakan kehendak karena di belakang Israel ada Amerika Serikat yang diharapkan jadi penengah konflik. Namun nyatanya tidak bisa, karena mereka sudah diikat dengan komitmen dukungan penuh terhadap Israel. Untuk menyelesaikan masalah memang diperlukan penengah yang jujur. Sampai saat ini belum ada. Mudah-mudahan Rusia sebagai penyeimbang bisa berperan, seperti yang terjadi di Syria, sehingga AS dan pendukungnya tidak bisa menjadikan Syria seperti Libya, Afghanistan dan Irak,” katanya.
Kemudian Imron juga setuju kalau Indonesia bisa jadi penengah antara Hamas dan Fatah, sehingga bersatu melawan penjajahan Israel. Karena itu salah satu tugas Konstitusi Indonesia. Kalau ada yang tanya kenapa Indonesia ikut bermain-main. Karena Pemerintah punya tugas Konstitusi yang salah satunya turut serta di dalam menciptakan ketertiban dunia dan juga menghapuskan segala penjajahan di muka bumi karena tidak sesuai prinsip kemanusiaan.
“Sebagai bagian masyarakat internasional yang bertanggung jawab, kita juga perlu memberikan bantuan solidaritas bagi Palestina. Karena Indonesia sebagai negara juga menerima bantuan internasional, salah satu yg terbesar di dunia. Jadi jangan ada pemikiran untuk tidak bantu-bantu Palestina, mengingat masyarakat kita masih kesusahan. Ingat, kita itu juga negara penerima bukan hanya pemberi, seperti dalam kasus antara lain tsunami Aceh dan gempa Yogyakarta Karena dalam pergaulan internasional: memberi dan menerima itu normal,” tandasnya.
Dalam Webinar itu, aktivis islam Kapitra Ampera menganggap, peran Indonesia dalam konflik Palestina-Israel seperti yang termaktub dalam UUD 1945, penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Sehingga Indonesia bisa memfasilitasi agar Palestina tidak terus menerus menjadi korban kebiadaban imperialisme sepanjang sejarah.
“Indonesia bisa membuat deklarasi seperti yang dilakukan Bung Karno di tahun 1955, menggalang kekuatan mendeklarasikan Konferensi Asia Afrika (KAA). Di mana dalam forum KAA di Bandung, Bung Karno keras mengecam segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan Israel terhadap Palestina,” tutur Kapitra Ampera.[jpc]