GELORA.CO - RUU KUHP memasukan definisi pemerkosaan termasuk pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape) di mana suami bisa dipenjara.
Merespons hal itu, Komnas Perempuan mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami.
"Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini saat dihubungi, Senin (16/6/2021).
Bagi Theresia, laporan itu menunjukkan adanya kesadaran dari istri melihat bahwa ada tindakan yang disebut pemerkosaan dalam rumah tangga.
"Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum," katanya.
Meski begitu, Theresia juga menyampaikan bahwa ada anggapan di masyarakat bahwa tidak ada yang namanya pemerkosaan dalam hubungan suami istri. Pandangan itu terus berkembang dan menjadikan istri memaklumi pemerkosaan.
"Terkait isu pemerkosaan terhadap istri, memang masih ada anggapan dalam masyarakat bahwa tidak pernah ada pemerkosaan terhadap istri. Hal ini karena ada anggapan bahwa istri adalah melayani suami dalam segala aspek termasuk melayani secara seksual," ucapnya.
"Inilah yang meyebabkan tindakan pemerkosaan terhadap istri dianggap mengada-ada," katanya.
Namun, soal apakah setuju atau tidak dengan isi RUU KUHP tersebut, Komnas Perempuan belum bisa memberikan komentar. Perlu pengkajian mendalam dan membaca secara seksama isi draft RUU KUHP.
"Kalau soal itu, KP belum dapat berikan komentar karena saat ini RKUHP sedang dalam proses pembahasan sehingga sebagaiknya kita menunggu prosesnya dulu ya. Kami belum mendapat informasi untuk draft RKUHP terbaru," ujarnya.
RUU KUHP: Suami Bisa Dipidana Karena Perkosa Istri
RUU KUHP meluaskan definisi pemerkosaan, salah satunya pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape). Delik ini saat ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).
Berikut bunyi lengkap Pasal 479 RUU KUHP:
(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a.persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b.persetubuhan dengan Anak; atau
c.persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(3) Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa:
a.memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;
b.memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau
c.memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
(4) Dalam hal korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) adalah Anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Dalam hal Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Anak dan dipaksa untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6) Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(7) Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan matinya orang, pidana ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Jika Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Anak kandung, Anak tiri, atau Anak di bawah perwaliannya, pidana ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).(dtk)