GELORA.CO - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna menyatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunganya. Hal tersebut disampaikannya dalam pidato pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6).
Lebih lanjut, Ketua BPK menilai tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Menanggapi pernyataan tersebut, anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan menyatakan hendaknya BPK melihat utang pemerintah secara komprehensif dalam kerangka penilaian laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan.
"Ini kan aneh. Di satu sisi, BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah. Namun di sisi lain mengkhawatirkan utang pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK," tutur Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Fraksi Gerindra Komisi XI DPR, Rabu (23/6).
Ketua BPK dalam pidato tersebut juga menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).
Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.
Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen
Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.
Di sisi realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.
"Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan SILPA yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU 2/2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut," jelas Heri Gunawan atau biasa yang disapa dengan panggilan beken Hergun.
Hergun menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU 2/2020.
"Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu 1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3 persen dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3 persen oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu 1/2020," jelas Hergun.
Kemudian, politisi dari dapil Jabar IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) itu menambahkan, defisit melebihi 3 persen tersebut dibatasi hanya sampai 2022 saja. Tahun 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3 persen lagi. Bahkan dalam masa peralihan menuju 3 persen tersebut angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Artinya, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.
"DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No.2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu juga harus berani memberikan penilaian selain WTP," papar Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI.
Dia menuturkan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB masih dalam koridor UU 2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemic Covid-19. Namun terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun harus diaudit oleh BPK. Bila ini tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.
"Saya kira BPK jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya. Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR," tegas Hergun.
Lebih baik, kata Hergun, BPK mengaudit utang-utang tersebut terutama menyelidiki terjadinya SiLPA dalam jumlah yang fantastis tersebut. Karena adanya SiLPA membuktikkan pengelolaan utang pemerintah belum prudent dan terkesan ugal-ugalan.
Sejak 2012, rasio pendapatan negara terhadap belanja negara secara konsisten terus turun. Pada 2012 masih 89,7 persen, kemudian menjadi 84,9 persen, dan dalam dua tahun terakhir ini sudah berada di kisaran 63 persen. Lubang sebesar 37 persen ini jelas memberatkan pemerintah.
"Defisit yang makin lebar ini harus ditutupi, salah satunya melalui penghematan. Namun, saat ini penghematan penggunaan anggaran negara masih belum terlihat. Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam," jelas Hergun.
Dampak utang yang membengkak, negara harus membayar bunga utang mencapai Rp 314,1 triliun pada 2020. Jika beban bunga ini bisa dilakukan negosiasi ulang dan atau restrukturisasi, alangkah lebih baik jika sebagian biaya bunga tersebut dialokasikan untuk memperkuat program perlindungan sosial.
"Saya kira ini yang harus dikejar BPK," pungkas Hergun. (RMOL)