Oleh:M. Rizal Fadillah
UNTUK Pilpres 2024 nanti figur yang telah muncul antara lain nama pasangan Anies-AHY, Anies-Airlangga, Prabowo-Puan, Rizal Ramli-Gatot Nurmantyo.
Jokowi nampaknya akan mati tanpa ada penerus kepentingannya. Terbayang risiko buruk akibat dari kepemimpinan acak-acakan selama dua periode. Bukan mustahil pertanggungjawaban hukum dan politik akan mendera.
Survei pun bermain dengan mengangkat figur Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, kader PDIP. Nama Anies, Prabowo, dan Ganjar selalu dibuat tiga besar. Tentu Ganjar menarik untuk dilirik oleh Jokowi untuk "memperpanjang umur" politiknya.
Ganjar sendiri gejalanya tidak bakal didukung PDIP yang akan mendahulukan Puan Maharani, puteri sang Ketum.
Ketika akan ditemui oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pada acara partai di Jawa Tengah, ternyata agenda yang direncanakan itu batal karena konon Ganjar dipanggil Jokowi.
Saat pengukuhan gurubesar kehormatan Unhan, Presiden Jokowi tidak menghadiri bahkan memilih datang ke peresmian jalan tol Semarang-Demak. Tentu untuk bertemu dengan Ganjar Pranowo.
Joko Mania (Joman) secara terang-terangan sudah memulai menyatakan dukungan pada Ganjar Pranowo. Hal ini sebagai sinyal bahwa Jokowi menginginkan Ganjar untuk terus menggelinding dan menjadi kepanjangan tangannya.
Di sisi lain Ganjar sang Gubernur tentu diharapkan untuk dapat membantu atau memproteksi perjalanan politik Gibran Walikota Solo. Simbiosis mutualisme yang wajar.
Skenario yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi atau implikasi dari menarik Ganjar ini, yaitu:
Pertama, mengingat popularitas Ganjar meningkat menempel Prabowo atau Anies dan semakin jauh dari Puan, maka Megawati "menyerah" dan akhirnya siap mendukung Ganjar untuk Capres. Dengan amanat penguatan status sebagai "petugas partai" dibuat kalkulasi dan ekspektasi menang dengan menghalalkan segala cara.
Kedua, konflik adu kuat dukungan PDIP antara Puan dengan Ganjar semakin menajam. Ganjar dipecat oleh partai. Ganjar benar-benar ditarik Jokowi. Berimbas pada konflik Mega dengan Jokowi. Bereskalasi terus hingga Mega dan Jokowi harus berpisah. Jokowi dijatuhkan sebelum 2024 melalui penggalangan PDIP. Alasan rasional adalah krisis multi dimensional atau menangkap aspirasi rakyat.
Ketiga, baik Jokowi maupun Ganjar gagal di ujung saat mencari kendaraan. Kesulitan mendapatkan partai atau gabungan partai politik yang memenuhi presidential threshold 20 persen. Partai-partai politik terpolarisasi pada dukungan capres lain.
Mengingat beratnya bagi Jokowi untuk "memperpanjang umur" politiknya tersebut, maka di samping mengupayakan berhasilnya skenario pertama juga harus berjuang untuk menggolkan penurunan angka presidential threshold agar lebih mudah mencarikan kendaraan politik untuk Ganjar Pranowo.
Jokowi sendiri secara perorangan tidak memiliki kekuatan jika tanpa dukungan pemilik modal "inner circle" khususnya para taipan. Karenanya pertimbangan lingkaran oligarki ini turut menjadi penentu.
Bisa saja pengendali menganggap sekarang sudah tidak perlu lagi memikirkan nasib Jokowi. Mereka pun telah mendengar suara desakan mundur yang semakin menggema. Jokowi sama sekali sudah tidak diperlukan karenanya dibuang atau dicampakkan saja.
Jokowi's power is over now.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)