GELORA.CO - Komisi Yudisial (KY) didorong untuk mendalami pemotongan hukuman mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung, Pinangki Sirna Malasari. Pasalnya hukuman penjara pinangki dipangkas sangat besar dari 10 tahun menjadi 4 tahun di tingkat banding pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Vonis mencurigakan ini pun menuai sorotan publik. Bahkan anehnya, KY dinilai seperti ketakutan untuk mengomentari setiap putusan hakim yang dianggap menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat.
“Apalagi cuma dikomentari, ini teman-teman di Komisi Yudisial untuk komentar saja takut ini yang saya agak heran gitu ya,” kata mantan Ketua KY, Suparman Marzuki dalam diskusi daring, Minggu (27/6).
Suparman menjelaskan, KY seharusnya bisa melakukan eksaminasi putusan 10 tahun penjara kepada Pinangki Sirna Malasari yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Hal ini sebagai acuan untuk menelisik dugaan kekeliruan dalam putusan pada tingkat banding.
“Ketika di PT muncul pertimbangan yang aneh, yang lain maka patut diduga ada sesuatu yang tidak betul,” ujar Suparman.
Suparmen juga tak memungkiri, putusan hakim merupakan wilayah ruang gelap. Karena hanya hakim yang menangani perkara tersebut, bisa memutus setiap perkara yang diadilinya.
Berdasarkan pengalaman, lanjut Suparman, dalam menyeleksi calon Hakim Agung saat itu mengamini bahwa putusan pengadilan memang ruang gelap. Tidak hanya soal putusan, terkait pertimbangan dan alat bukti juga bisa dimainkan secara tidak profesional.
“Putusan hakim itu ruang gelap. Jadi bisa memainkannya untuk kepentingan dengan tidak profesional, bisa mainkan pertimbangan dia bisa mainkan alat bukti dan seterusnya ya,” ungkap Suparman.
Oleh karena itu, sebagai mantan Pimpinan KY, Suparman mengharapkan lembaga yudisial bisa menindaklanjuti untuk mendalami dugaan kekeliruan dalam pemotongan hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara.
“Lakukan investigasi terhadap hakim-hakim, bagaimana caranya Komisi Yudisial sudah punya sistem sudah punya metode kerjanya ya sudah bagus,” pungkas Suparman.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta sebelumnya memotong hukuman mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari, menjadi 4 tahun penjara. Padahal pengadilan tingkat pertama, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara.
“Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Penuntut Umum, Mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Terdakwa,” sebagaimana dikutip dalam salinan putusan yang diterbitkan Mahkamah Agung (MA) Senin (14/6).
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” sambungnya.
Perkara ini diadili pada tingkat banding oleh Ketua Majelis Hakim Muhammad Yusuf, dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada 14 Juni 2021
Dalam salinan putusan, PT DKI Jakarta menilai hukuman 10 tahun penjara terhadap Pinangki yang dijatuhkan oleh PN Tipikor Jakarta terlalu berat. Karena itu, hakim tingkat banding memberikan alasan pemotongan hukuman terhadap Pinangki
“Bahwa Terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengiklaskan dipecat dari profesinya sebagai Jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahwa Terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita berusia 4 tahun, layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya,” tulis salinan putusan.
Selain itu, Pinangki yang juga dinilai sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil. Hakim menyebut, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini.
“Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” sebagaimana dalam salinan putusan menandaskan.[jpc]