GELORA.CO - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dituntut 5 tahun pidana penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Edhy Prabowo terbukti menerima suap senilai Rp 25,7 milar terkait penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata Jaksa Ronald Worotikan membacakan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (29/6).
Selain dijatuhkan pidana pokok dengan hukuman kurungan badan selama 5 tahun, Edhy Prabowo juga dijatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 9.687.447.219 dan USD 77.000 dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan terdakwa.
“Apabila tidak dibayarkan setelah berkekuatan hukum tetap diganti dengan kurungan selama 2 tahun,” ucap Ronald.
Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini juga dituntut agar tidak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun. Tuntutan ini setelah Edhy menjalani seluruhnya pidana pokok. “Pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok,” ujar Ronald.
Jaksa meyakini, Edhy Prabowo menerima suap senilai Rp 25,7 milar. Penerimaan suap dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI), sekaligus pemilik PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobater untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Dalam menjatuhkan tuntutan, Jaksa KPK mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa Edhy Prabowo diyakini tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan terdakwa selaku penyelenggara negara yaitu menteri tidak memberikan teladan yang baik.
“Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan dalam persudangan, belum pernah dihukum, sebagian aset sudah disita,” ujar Ronald.
Jaksa KPK menuntut Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.[jpc]