GELORA.CO - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjelaskan latar belakang bank garansi untuk menampung penerimaan negara bukan pajak (PNPB) ekspor benur. Edhy menegaskan bank garansi bukan suatu pungutan.
"Kalau bank garansi itu seingat saya bukan pungutan yang tidak dibolehkan, itu komitmen dan sudah ada prosesnya," kata Edhy saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/6/2021).
Edhy menjelaskan bahwa bank garansi ada sebagai tindak lanjut terbitnya PERMEN-KP 12/2020, salah satunya terkait PNBP. Awalnya, Edhy tidak puas dengan PNBP yang ada sebelumnya.
"Muncul lah pembicaraan tentang PNPB-nya, masih Rp 250 per 1.000 ekor. Wah saya nggak mau. Saya katakan bisa nggak kita terapkan, (dijawab) bisa diterapkan tapi pakai PNPB yang lama, harga yang ini. Wah, saya nggak mau, kita akan diketawai publik. Untuk apa, apa yang negara dapat dengan ini, ini nggak ada bedanya dengan yang lain," jelasnya.
Menindaklanjuti hal itu, Edhy mengatakan akhirnya berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari sana akhirnya dibolehkan adanya bank garansi.
"Kemudian muncul lah tindakan, terus gimana, cukup tanda tangan sekjen saja, untuk menyampaikan surat karena leading sector terakhirnya, gerbangnya Ibu Rina karena dia yang mungutin dari BKIPM, saya nggak mau kalau nggak ada surat ini, saya mau payung hukum, sampai akhirnya mohon maaf di Hotel Alana saya marah dan beberapa kali rapat kan tinggal satu langkah. Kita kan nggak nyuri, nggak ngambil, kan peluang masuk uang negara, jadi itu latar belakangnya," jelasnya.
Nota Dinas Sekjen KKP Antam Novambar
Jaksa KPK menanyakan Edhy Prabowo terkait nota dinas Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Antam Novambar, pada 1 Juli 2020. BAP Edhy nomor 35 juga dikonfirmasi soal usulan revisi PP Nomor 75/2015.
"Di penyidikan pernah diperlihatkan nota dinas ditandatangani Sekjen Antam Novambar? Terkait PNBP kan harus diwujudkan dalam PP, saksi sebut terkait pengenaan PNBP ada di BAP saksi nomor 35: Tindak lanjut nota dinas tersebut harus diajukan usulan revisi PP Nomor 75/2015 ke Kemenkeu. Apakah pada saat terjadi pungutan tersebut dari perusahaan yang dapat izin ekspor, revisi PP 75 sudah ditetapkan Kemenkeu?" tanya jaksa dan dijawab 'belum' oleh Edhy.
Edhy membantah pernah meminta anak buahnya untuk melakukan pungutan. Namun, jaksa kembali menyasar Edhy soal nota dinas tersebut yang menjadi dasar pemberlakuan bank garansi meski belum ada revisi PP 75/2015.
"Saksi memang bilang nggak suruh mungut tapi ini dijadikan dasar Safri atau Andreau untuk melakukan pungutan tersebut yang disetor ke bank garansi," ujar jaksa.
"Ini pembicaraan muncul ada dari Biro Keuangan, Biro Hukum kami, ada dari Kemenkeu, dari Kementerian Sekab ada untuk itu. Jadi ini produk lintas menteri yang ujungnya untuk memperkaya negara dan itu bukan PNBP, belum PNBP, masih berupa bank garansi dan komitmennya bisa dilihat apakah itu menjadi aset pribadi menteri atau aset KKP atau menjadi aset negara," jelas Edhy.
Terima Laporan Setoran Bank Garansi
Jaksa KPK menanyakan Edhy terkait penerbitan surat pada 15 April 2020 yang berisi kewajiban membayar PNBP khusus. Edhy membenarkannya meski tidak mengetahui rinci isi surat tersebut.
"Iya saya tanda tangani itu, tapi saya tanda tangan itu saya nggak ngerti rincian, PNBP khusus yang dimaksud pun saya nggak ngerti, tapi saya percaya dengan tim yang mengurus karena semuanya ada parafnya. Saya nggak perlu paham pak, kalau semua dirjen, semua eselon I sudah paraf kenapa saya harus tunggu lagi, kita percepat saja. Yang penting saya yakin tidak ada pelanggaran hukum," ujarnya.
Edhy menjelaskan bank garansi memang belum memiliki dasar. Namun, Edhy berdalih punya semangat untuk meraup pemasukan sebanyak-banyaknya dari PNBP.
"(Dasarnya) Belum pak, saya dapat WA dari Menteri Keuangan bahwa PP itu sebelum ada penundaan karena ada Cipta Kerja itu Menteri Keuangan sudah WA saya, karena saya tanya tiap ratas, 'Bu ini kalau nggak jadi sudah nggak apa-apa, saya nggak bisa dituntut lagi untuk ngejar target PNBP di atas Rp 1 triliun'. Jadi itu, ini ada semangat saya untuk bagaimana sebanyak-banyaknya menciptakan uang PNBP, salah satunya," terangnya.
Edhy mengaku memang selalu mendapat laporan soal jumlah setoran dalam bank garansi melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi, sebagaimana terungkap dalam BAP Edhy nomor 42.
"Ada di BAP saudara nomor 42: Saya pernah menerima laporan dari Rina Kepala BKIPM KKP RI, dari Andreau, terkait jumlah PNBP yang diterima dari bank garansi yang diterima dari perusahaan yang telah disetujui dan diterbitkan izin untuk ekspor BBL. Terhadap laporan itu, disebutkan ada jumlah perusahaan dan uang yg sudah disetor?" tanya jaksa KPK.
Edhy tidak mengetahui berapa uang yang sudah disetor ke bank garansi. Jaksa sempat mengonfirmasi soal dana Rp 52,3 miliar yang sudah tersetor, namun Edhy mengaku tidak ingat.
"Rp 52 miliar kan disita penyidik KPK, sekitar Rp 52.319.542.040, saksi tahu?" tanya jaksa.
"Tahu. Jumlah persisnya nggak tahu, jumlah perusahaan nggak tahu. Bukan lupa, saya dilaporkan, tiap perkembangan dilaporkan,"
Edhy menjelaskan bahwa duit yang ada di bank garansi memang belum diketahui akan diapakan sampai akhirnya ia ditangkap penyidik KPK.
"Belum pak itu masih proses sambil menunggu PP, ini kan masih proses sampai akhirnya ditangkap," kata Edhy.
Dalam sidang ini, yang duduk sebagai terdakwa adalah Edhy Prabowo. Edhy didakwa menerima suap dengan total nilai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir BBL atau benur. Penerimaan suap ini disebut jaksa dilakukan Edhy bersama stafsus, sekretaris pribadi, dan seorang swasta dari PT ACK.(dtk)