GELORA.CO - Kontroversi mengiringi wacana pemerintah yang akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap produk sembako. Wacana itu tertuang dalam draf RUU Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pada pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat dihapus dari barang yang tidak dikenai PPN. Artinya, sembako akan dikenai PPN. Sembako yang dimaksud itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam dapur, daging, susu, buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, bumbu dapur, dan gula pasir. Besaran pajak yang akan dikenakan disebut-sebut mencapai 12 persen.
Menanggapi wacana itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara. Ani –sapaannya– menyayangkan beredar luasnya draf RUU KUP sebelum dibahas di DPR. Dia memastikan, pemerintah masih berfokus untuk pemulihan ekonomi.
”Ini memang situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga. Sehingga kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita, yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow up dan seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini,” ujarnya saat raker bersama Komisi XI DPR kemarin (10/6).
Justru, Ani menyebut pemerintah akan tetap memberikan bansos kepada masyarakat. Insentif kepada pelaku UMKM juga tetap berjalan. ”Yang terjadi sekarang, rakyat menikmati seluruh apa yang dinamakan belanja, bantuan pemerintah, dan insentif perpajakan. Mereka tidak bayar PPh 21, PPN ditunda atau direstitusi, PPh 25 dikurangi. Jadi, semua pengusaha bisa tumbuh lagi. PPh 21, PPh perusahaan, PPh 22 impor, PPh 26 final, pajak UMKM diberikan final, tapi kok malah yang keluar seperti ini? Kami sayangkan itu,” tutur dia.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, APBN perlu disehatkan kembali dengan cara yang prudensial. Dia memastikan, setiap kebijakan yang ditempuh tentu memperhatikan seluruh lapisan masyarakat. Kabar yang kadung berkembang liar disebut sebagai bagian dari hoaks.
”APBN kita berikan untuk membantu masyarakat survive. Seolah-olah PPnBM untuk mobil diberikan, sembako dipajaki, itu kan teknik hoaks yang bagus banget memang,” tegas dia.
Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan, pemerintah tak akan berbuat konyol dalam menetapkan kebijakan. Sebab, pemerintah saat ini mati-matian memperjuangkan pemulihan ekonomi pasca dihantam pandemi Covid-19.
Yustinus menyebutkan, semestinya justru PPN yang dibayarkan mengacu pada penghasilan dan pola konsumsi masyarakat. Sebagai catatan, Indonesia saat ini masih menganut sistem PPN single tarif 10 persen.
”Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mestinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil, bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” ujarnya melalui akun Twitter-nya baru-baru ini.
Sementara itu, dosen Agrobisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Feryanto meminta pemerintah meninjau kembali rencana memungut PPN dari produk-produk sembako. ”Setelah saya baca-baca literatur penelitian terdahulu, PPN untuk sembako pada saat sekarang belum urgen,” katanya kemarin.
Dia menyatakan, perlu dilihat landasan pemerintah sampai berkeinginan memungut PPN dari komoditas sembako. Tujuannya tentu mengarah pada kekurangan fiskal. Dia berharap pemerintah bisa mencari sumber fiskal lain dengan cara lebih kreatif. Sebab, bagaimanapun alasannya, PPN untuk sembako membuat harga jual naik.
Dosen yang akrab disapa Fery itu mengatakan, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, daya beli masyarakat sedang tertekan. Baik di desa maupun kota. Daya beli masyarakat yang terus tertekan itu bisa menambah tingkat kemiskinan di Indonesia. Penerapan PPN terhadap sembako tersebut bakal membuat daya beli masyarakat semakin tertekan.
”Di satu sisi, pemerintah memberikan insentif. Tetapi, ini di sisi hilirnya, pemerintah kok mengutip PPN (sembako, Red),” jelasnya. Jika rencana itu terjadi, kucuran insentif pemerintah untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19 tidak akan berdampak apa-apa.
Fery lantas menjelaskan siapa pihak yang paling terdampak jika kebijakan PPN sembako tersebut diterapkan. Menurut dia, yang paling terdampak atau dirugikan adalah petani. Khususnya petani skala kecil. Sebagaimana diketahui, lebih dari 50 persen petani Indonesia masuk kategori petani kecil karena lahannya tidak sampai 1 hektare.
Para petani kecil tersebut bakal terkena dua dampak sekaligus akibat penerapan PPN sembako. Yaitu, petani kecil sebagai seorang konsumen pasti terdampak dengan melambungnya harga sembako akibat PPN. Kemudian, petani sebagai produsen komoditas pertanian harus menjual barang lebih murah di pasaran. Fery mengatakan, dengan PPN sembako, para pedagang tentu akan menekan harga beli mereka ke petani. Alasannya, pemberlakuan pajak tersebut.
Fery menegaskan, pemerintah perlu bijaksana dalam mengambil keputusan untuk mengatasi kekurangan fiskal. Pemungutan PPN sembako juga tidak mudah diterapkan. Di Indonesia, saat ini ada sekian banyak pasar tradisional. Perlu dipikirkan pengawasan supaya setiap pedagang sembako membayar PPN sembako dengan disiplin.
”Seperti kita ketahui, pencatatan pedagang sembako di pasar-pasar tradisional sederhana. Bahkan kadang berdasar ingatan,” jelasnya. Karena itu, mereka bisa jadi kerepotan ketika diwajibkan menyetor PPN atau penjualan sembako ke negara. Bisa jadi ketika PPN sembako nanti tetap diterapkan, ongkos pengawasannya lebih besar ketimbang nilai pajaknya itu sendiri.
Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar meminta kebijakan PPN sembako ditinjau ulang. Menurut dia, langkah tersebut berpotensi semakin memberatkan kehidupan masyarakat bawah dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah menekan ketimpangan melalui reformasi perpajakan dalam revisi UU KUP. ”Apalagi, kebijakan tersebut digulirkan di masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit,” kata Gus Ami, sapaan akrab Muhaimin Iskandar.
Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan, saat ini pedagang pasar mengalami kondisi sulit karena omzet mereka turun lebih dari 50 persen. Menurut dia, jika sembako dihilangkan dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN, masyarakat tentu akan dirugikan. Daya beli masyarakat juga akan menurun. ”Terutama pekerja atau karyawan perusahaan dan perekonomian makin sulit untuk bangkit,” ungkapnya.
Padahal, pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan membebaskan PPN 0 persen bagi barang impor kendaraan dan properti untuk menggairahkan perekonomian. Usaha-usaha itu diharapkan bisa bangkit sehingga daya beli konsumen meningkat.
Politikus asal Jombang itu menilai, dua kebijakan tersebut saling bertentangan. ”Kalau kita ingin perkembangan ekonomi nasional secara agregat, seharusnya jangan tambah beban masyarakat kecil dengan PPN,” ungkapnya.[jpc]