AS Larang Warganya Masuk Sulteng: Fakta Miris Pandangan Dunia tentang Indonesia

AS Larang Warganya Masuk Sulteng: Fakta Miris Pandangan Dunia tentang Indonesia

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Belum lama ini Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan imbauan kepada warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Negara Indonesia, terutama daerah Papua dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Alasannya, selain karena pandemi yang masih tinggi, juga persoalan keamanan terutama terkait terorisme.

Seperti yang diketahui, Papua dan Sulawesi Tengah santer diberitakan terkait isu teroris. Misalnya, di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang beberapa bulan belakangan kembali dihebohkan dengan pembunuhan secara sadis empat petani yang diduga dilakukan kelompok MIT yang selama ini bergerilya di pegunungan setempat. 

Sedangkan di Papua mengenai aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang terus melakukan aksi keji dengan membunuh warga yang tidak bersalah. Seperti, di sejumlah wilayah rawan konflik di Intan Jaya, Sugapa, Hitadipa, Titigi, dan Mamba.

Khusus Sulawesi Tengah, Pemerhati Terorisme, Ari Fahry, menyikapi travel warning atau travel advice yang dikeluarkan Amerika Serikat kepada warga negaranya untuk tidak bepergian ke Indonesia terutama pada wilayah-wilayah konflik di Sulawesi Tengah dan Papua, adalah bentuk pengetahuan kita tentang bagaimana pandangan dunia tentang Sulawesi Tengah.

“Ini miris. Kita diberikan konotasi yang negatif oleh negara luar khususnya Amerika,” kata Ari Fahry, kepada media ini, Senin (14/6).

Pelarangan tersebut, jika dikejar alasannya mengapa sampai Sulawesi Tengah bisa dispesifikasikan sebagai daerah yang perlu diwaspadai untuk melakukan perjalanan, maka akan ditemukan bahwa hal itu tidak jauh-jauh dari situasi yang terjadi di Kabupaten Poso.

Padahal, menurut Ari, begitu ia disapa, masyarakat Kabupaten Poso sudah berusaha ingin keluar dari stigma tersebut. Namun dengan larangan itu, secara langsung masyarakat di belahan dunia akan menganggap bahwa Poso tidak aman untuk dikunjungi. Dan, harapan warga Poso untuk keluar dari stigma itu tidak akan bisa terwujud.

“Warga Poso sudah lama menanggung beban psikologi akan stigma-stigma sebagai daerah yang tidak aman,” ujarnya

Hal itu tentu akan berdampak negatif bagi daerah terutama masyarakat yang tinggal di sana. Menurutnya, kebijakan yang telah dikeluarkan Amerika Serikat harus diseriusi. Harus menjadi poin penting pemerintah dan aparat untuk mengembalikan kondisi Poso sebagaimana biasanya.

Travel advice yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat harus menjadi cambuk bagi pemerintah dan aparat untuk segera menyelesaikan situasi Poso

“Dan yang paling mirisnya, persoalan ini sudah terjadi belasan tahun dan situasi Poso juga tidak kunjung membaik. Masalahnya apa? Mengapa hanya mengejar sipil bersenjata tapi pernah selesai-selesai,” ujarnya.

Pada dasarnya Poso kaya akan keindahan alam. Tempatnya indah untuk dikunjungi. Di sana, ada Danau Poso dan berbagai macam situs-situs bersejarah. Jika saja ada wisatawan yang ke Poso dan ia menjadi saksi bahwa Poso indah. 

Poso tidak seperti yang diberitakan media. Tentu akan memberi dampak positif yang tidak hanya bagi Pemerintah Daerah tapi juga masyarakat sekitar.

“Kebetulan saya tinggal di Poso di Desa Kalora. Tetangga saya Desa Kawande dihuni suadara-saudara Nasrani. Kami sudah biasa hidup berdampingan harmonis. Kekerabatan masyarakat sudah terjalin dengan baik,” ujarnya.

Hanya saja sebenarnya yang menjadi pertanyaan warga sekitar, mengapa sudah sekian tahun, masalah teroris di Poso masih berlarut-larut. Negara berhadapan dengan sipil bersenjata tidak pernah selesai. 

Larangan yang dikeluarkan Amerika Serikat, tentu harus dijawab dengan aksi nyata yakni mengembalikan suasana Poso seperti sedia kala.

“Harapan saya sederhana. Situasi di Poso harus kondusif. Sehingga tidak ada lagi stigma negatif,” jelas Ari.

Sementara itu, pemerhati lainnya, Prof. Muhammad Khairil menilai Sulawesi Tengah memang sudah akrab dengan isu konflik dan isu terorisme. Bahkan isu itu bukan hanya ada di Indonesia tetapi juga di belahan dunia lainnya.

Jika kemudian Sulteng dijadikan “icon” sebagai daerah rawan karena faktanya memang walaupun berkali-kali operasi dilakukan, terdapat kasus-kasus terorisme yang belum selesai. Seperti yang terjadi pada pembunuhan warga bernama Qidam yang hingga kini belum selesai proses hukumnya.

“Sehingga bagi saya ada argumentasi yang cukup rasional terkait kekhawatiran dengan fakta-fakta yang terjadi sebab kita di Sulteng dan Papua masih cukup identik dengan isu ini,” kata Khairil.

Seperti Ari Fahry, ia juga miris dengan travel warning yang dikeluarkan pmerintah AS tersebut. Karena secara umum pada wilayah-wilayah di Sulawesi Tengah tidak termasuk dalam wilayah konflik.

Berkaitan dengan imbauan Amerika Serikat soal larangan bepergian di Indonesia terutama Sulteng, ia memandang perlu adanya informasi yang sedikit lebih menyehatkan untuk mengurangi isu terorisme. 

Media sosial menurutnya juga, berperan penting dalam menyebarkan informasi yang juga berkaitan dengan isu terorisme.

Sebuah informasi yang menyebar di media sosial jika mendapat like dan diteruskan (share) oleh pembaca, maka informasi seputar terorisme terus bergelinding. Sehingga menyebabkan masyarakat Sulteng susah keluar dari persoalan ini.

“Begitu juga dengan media massa, yang bagus diangkat juga tentang orang-orang (kelompok teroris) tidak ingin bergabung lagi. Ini harus dinaikkan di media dan dibaca dunia. Pelan-pelan kita mengurai kekusutan ini,” katanya.

Di sisi lain, Khairil berharap dari masalah ini ada pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat untuk menyelesaikan masalah itu. 

Sejauh ini, ia belum pernah mendengar ada upaya mediasi antara kedua belah pihak karena bisa jadi kelompok teroris ini ada keinginan. Sebaiknya harus dilakukan pertemuan yang digagas tokoh-tokoh masyarakat Poso agar bisa duduk bersama.

“Kita duduk dan mempertemukan apa keinginan masing-masing. Misalnya kelompok ini ingin duduk bersama tapi jangan hukum kami atau hukum kami dengan transparansi keadilan atau apapun istilahnya. Pemerintah juga mau mendengar tuntutan mereka,” ujar Khairil.

Ia mengharapkan semuanya bersinergi untuk bersama-sama termasuk media, agar Sulteng dikenal dengan kedamaiannya. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita