GELORA.CO - Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, diminta segera menurunkan tim audit atas pelaksanaan tender Design Build Competition (DBC) TPPI Olefin Complex di PT Kilang Pertamina Internasional.
Permintaan ini diajukan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, lantaran adanya kejanggalan-kejanggalan dalam proses pelaksanaan tender.
"Proses pengadaan Design Build Competition (DBC) Kilang TPPI Olefin Complex oleh Tim Tender PT Kilang Pertamina Internasional dinilai tak mematuhi prinsip-prinsip pengadaan dan etika pengadaan," ungkap Yusri, Selasa (29/6).
Lanjut Yusri, hal itu tidak sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang jasa konstruksi dan PP Nomor 22 tahun 2020 tentang pelaksanaan UU Nomor 2 tahun 2017 tentang jasa konstruksi.
Tak hanya itu, pengadaan jasa DBC TPPI Olefin Complex juga dinilai tidak sesuai atau menyimpang dari ketentuan yang termuat di dalam dokumen pra kualifikasi, dokumen penawaran, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum baik nasional maupun internasional.
"Lihat saja pada pelaksanaan isi dokumen pra kualifikasi lelang. Pada dokumen disebutkan peserta lelang mesti memiliki pengalaman FEED untuk olefin cracker. HEC sebagai leader consortium tidak memiliki pengalaman pekerjaan FEED olefin cracker, tetapi dinyatakan lulus oleh team tender," beber Yusri.
Celakanya, menurut tim tender, HEC sudah memenuhi syarat, karena melampirkan agreement contract pada project olefin cracker Kazakhstan KLPE.
"Padahal, Agreement bukanlah merupakan contract pelaksanaan," kata Yusri.
Ditambahkan Yusri, karut-marut pelaksanaan tender TPPI Olefin Complex juga kentara pada langkah tim tender menggunakan buku pedoman pengadaan pekerjaan konstruksi terintegrasi project pembangunan kilang dan petrokimia No. A05-001/V10200/2020-S9 revisi ke-0 tanggal 18 Februari 2020.
"Namun anehnya, buku pedoman tersebut tidak diberikan kepada peserta dan tidak diberikan link download kepada peserta tender, sehingga peserta tender tidak mengetahui tata cara pengadaan pekerjaan ini dengan baik," ungkap Yusri lagi.
Lebih lanjut Yusri menyebut kejanggalan juga terlihat pada proses penawaran.
Seperti dibeberkan Yusri, tim tender memberitahukan bahwa penawaran sistem dua tahap. Pemasukan penawaran dua file. File pertama berisikan data administrasi dan proposal teknis. File kedua berisikan proposal harga.
File kedua tersebut hanya disampaikan oleh penawar bila dinyatakan telah lulus evaluasi teknis atau Passing Grade dengan nilai 80.
Metode yang digunakan dalam tender ini, seperti yang ditetapkan dalam ITB pada angka 26.7.4, menyebutkan bahwa pembukaan penawaran komersial paket DBC Tahap II, dilakukan sekaligus pada dua skor teknis terbaik dari peserta tender.
Kemudian dari dua harga penawaran tersebut didapatkan harga terendah yang kemudian dibandingkan dengan HPS atau OE.
"Celakanya, harga terendah tersebut lalu dinegosiasikan ke harga peserta lainnya yang telah dibuka dokumennya. Jika peserta lainnya yang telah dibuka dokumennya dapat menerima harga penawaran terendah tersebut, maka penawaran peserta lainnya yang belum dibuka dokumen penawarannya dikembalikan dan dilengkapi dengan berita acara," tutur Yusri.
Padahal, menurut ketentuan yang berlaku pada umumnya di tingkat nasional dan internasional, serta menurut pedoman pengadaan Guidelines dari WorldBank dan ADB dan peraturan jasa konstruksi yang berlaku di Indonesia, jika metode penyampaian penawaran dua tahap, maka metode evaluasinya dilakukan dengan cara mengundang penawar yang dinyatakan hasil evaluasi dan administrasi DBC teknis memiliki Passing Grade lebih tinggi dari 80 untuk memasukkan Penawaran komersial DBC tahap kedua.
Bagi penawar dengan harga terendah dinyatakan sebagai pemenang tender. Dan di dalam tender tidak diperbolehkan negosiasi harga.
Yang tak kalah penting, sambung Yusri, juga ditemukan tidak konsistennya antara Dokumen Pra Kualifikasi dan Dokumen ITB mengenai penambahan anggota konsorsium.
"Pada dokumen Pra Kualifikasi angka IV.6 huruf e, menyebutkan bahwa apabila anggota konsorsium yang telah dinyatakan lulus prakualifikasi dengan anggota konsorsium yang telah memenuhi persyaratan, maka konsorsium tidak diperbolehkan mengubah keanggotaan konsorsium," kata Yusri.
Pada ITB angka 15.2, juga dinyatakan dalam hal konsorsium atau KSO bermaksud mengajukan suatu perubahan, maka pemilik dengan kewenangannya sendiri dapat mempertimbangkan usulan konsorsium.
"Sementara itu, pada sistem Penilaian pada Appendix II Part 2B, di sana diuraikan tentang technical weight factor. Skor pengalaman dari anggota konsorsium diuraikan sangat rendah, yaitu 5% untuk Pengalaman FEED dan 10% untuk Pengalaman EPC," papar Yusri.
Menurut Yusri, untuk project yang kompleks dan berteknologi tinggi tentunya sangat membutuhkan pengalaman yang banyak dari penyedia jasa sehingga bobot yang dibutuhkan seharusnya lebih besar.
"Hyundai E&C yang tidak memiliki pengalaman EPC untuk olefin complex, tapi hanya pengalaman konstruksi saja pada project Turkmengas olefin complex, dan pada KLPE project yang hanya membuat bentuk proposal project, malah bisa mendapatkan nilai tertinggi. Hal ini merupakan suatu keanehan dalam pembobotan nilai," terangnya.
Sementara itu, soal sistem penawaran harga, dari hasil penyampaian penawaran harga dari kedua penyedia jasa yang menjadi pemenang, harga kedua penyedia jasa tersebut sangat mendekati harga Owner Estimate (OE). Perbedaan harga keduanya pun memiliki selisih yang sangat kecil, yaitu sekitar Rp 700 juta.
"Ada dugaan kolusi dari antara kedua penyedia jasa pemenang tersebut dan dugaan bocoran harga OE dari pemberi jasa," sebut Yusri.
Yusri juga menilai sedikit aneh soal harga penawaran selanjutnya, setelah dilakukannya pengumuman komersial. Yaitu penawaran harga kedua penawar ranking 1 dan ranking 2.
"Harganya sangat tipis dan hampir sama dan mendekati nilai OE. Ini membuktikan adanya kecenderungan atau dugaan terjadinya persengkongkolan dari kedua bidder’s yang diduga berpotensi dapat merugikan Pertamina, dan proyek kilang ini bernilai di atas Rp 50 triliun, jangan main-main loh," demikian Yusri Usman. (RMOL)