GELORA.CO - Adewinda binti Isak Ayub, seorang WNI asal Cianjur yang terancam hukuman mati di Arab Saudi kini bisa bernapas lega usai bebas.
Adewinda terjerat hukuman qisas atas tuduhan pembunuhan anak majikan yang terjadi pada Juni 2019.
"Adewinda dinyatakan lepas dari hukuman mati setelah orang tua korban sebagai pemilik hak qisas secara sukarela dan tanpa syarat apa pun menyatakan "tanazul" (pembatalan tuntutan hukuman mati) pada sidang lanjutan yang berlangsung Maret 2021 di Pengadilan Pidana Riyadh," kata Dubes RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5/2021).
Kabar gembira ini diterima pihak Kedubes usai mendapat salinan putusan pengadilan. Dalam putusan tersebut, Adewinda dipastikan bebas dari hukuman mati.
"Kami baru sekarang menyampaikan kabar gembira penuh syukur ini kepada masyarakat di Indonesia, setelah mendapatkan salinan putusan Pengadilan dan memastikan dari semua aspek bahwa Adewinda binti Isak Ayub telah benar-benar bebas dari hukuman mati (qisas)," ujar Agus Maftuh.
Lebih lanjut, Agus Maftuh menjelaskan bahwa untuk membaca dan memahami amar putusan yang terdiri 9 halaman tersebut dibutuhkan pemahaman komprehensif tentang Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam).
"Alhamdulillah pengalaman saya di pesantren dan menemani mahasiswa selama 27 tahun di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sangat membantu dalam memahami istilah-istilah khusus dalam hukum pidana Islam (al-Tasyri' al-Jina'iy fi al-Islam) yang tertulis dalam putusan ini," tuturnya.
Setelah pembatalan tuntutan hukuman mati, Adewinda kini hanya akan menjalani hukuman 5 tahun penjara dipotong 2 tahun. Artinya hanya tersisa satu tahun ke depan jika putusan ini disahkan secara Inkracht oleh Pengadilan Kasasi yang sedang berjalan.
Awal Mula Kasus Adewinda
Sebelumnya, diketahui bahwa Adewinda ditahan oleh Kepolisian Distrik Aziziah, Riyadh sejak 3 Juni 2019 atas tuduhan membunuh anak perempuan majikan berusia 15 tahun yang mengalami keterbelakangan mental. Dalam tuduhan itu, Adewinda disebut memukul berkali-kali pada bagian kepala sang anak hingga meninggal dunia. Pengadilan juga memutuskan bahwa Adewinda terbukti melakukan pembunuhan.
Ketika melakukan perbuatan tersebut, Adewinda sendiri diduga sedang mengalami depresi, karena selama 5 tahun terakhir dikurung berdua dengan korban dalam suatu ruangan dan tidak mendapatkan akses dunia luar. Hal ini oleh KBRI Riyadh dilihat sebagai salah satu celah penting untuk membebaskan Adewinda dari hukuman mati.
Pernyataan "tanazul" (pembatalan tuntutan qisas) oleh orang tua korban tidak lepas dari upaya pendampingan intensif yang dilakukan KBRI Riyadh, termasuk pendekatan persuasif kepada orang tua korban guna meyakinkan bahwa kejadian tersebut tidak dapat dilepaskan dari kesalahan dan tanggungjawabnya akibat mengurung Adewinda dan anaknya selama bertahun-tahun.
Proses pendampingan kasus ini tidak melibatkan jasa pengacara sama sekali. Selain melihat celah hukum di atas dan tingginya tawaran biaya jasa pengacara yang masuk ke KBRI (salah satu pengacara menawarkan jasanya dengan biaya mencapai SAR 500.000 atau sekitar Rp. 1,8 milyar), KBRI sejak awal yakin bahwa kesepakatan tanazul (pencabutan tuntutan hukuman mati) dapat tercapai tanpa uang diyat atau dengan diyat yang jumlahnya tidak sebesar biaya jasa pengacara.
Sejak tahun pertama Dubes Agus Maftuh di awal tahun 2016 hingga 2021, tercatat sekurangnya 10 orang WNI berhasil diselamatkan dari hukuman mati atas berbagai tuduhan yang beragam mulai pembunuhan, kasus sihir dan kasus-kasus berat yang masuk kategori HPC (High Profile Case).
Salah satu yang paling fenomenal adalah upaya pembebasan Eti Toyib Anwar di tahun 2019 melalui penggalangan uang tebusan (diyat) dari para donatur di Indonesia untuk membayar uang diyat sebesar SAR 4 Juta ( Rp. 15.5 milyar ).
Ketika menangani kasus-kasus berat, KBRI Riyadh secara intensif melakukan komunikasi dengan berbagai pihak di Arab Saudi, bahkan sampai level tertinggi yaitu Kantor Raja Salman (Diwan Malaki atau Royal Court) untuk meminta kemudahan dalam melakukan pendekatan dengan para ahli waris korban sebagai pemegang dan pemilik hak qisas dalam kasus pembunuhan.(dtk)