OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
Kemarin, saya melihat sebuat video pendek yang menggambarkan betapa dahsyatnya tsunami Covid-19 yang menyapu India. Deretan mayat diletakkan di pinggir jalan raya yang ramai lalu-lintas dan jalan menuju krematorium. Mayat-mayat itu diletakkan di atas tandu bambu. Ada yang diselimuti kain putih. Ada pula yang diselimuti kain merah. Dan, ditaburi bunga.
Krematorium-krematorium kewalahan melayani kremasi mayat. Banyak jenazah korban Covid-19 yang dibakar di tempat terbuka. Ada krematorium yang sehari mengkremasi 100 jenazah. Itu pun, masih banyak yang antre. Di malam hari, langit India berwarna merah kekuningan, pancaran api di tempat kremasi.
Di rumah-rumah sakit, banyak calon pasien yang tak bisa ditampung. Karena tidak tersedia tempat tidur lagi. Yang sudah diterima pun ada yang harus rela berbaring berdua di satu tempat tidur. Belum lagi, di mana-mana kekurangan oksigen, keterbatasan obat, dan juga masker.
India akhir-akhir ini adalah mimpi buruk. India adalah tragedi kemanusiaan. Karena itu, begitu banyaknya korban Covid-19. Korban gelombang kedua Covid-19, menurut laporan worldometers.info pada hari Rabu (28/4) saja dalam tempo 24 jam, tambah 379.459 kasus baru; hari Jumat (30/4), tercatat 402.110 kasus baru!
Semua tersentak, ketika jumlah yang meninggal pada hari Rabu, menurut Universitas Johns Hopkins menembus angka 200.000 jumlah penderita yang meninggal, menurut kantor berita AP, meningkat tiga kali lipat selama tiga minggu terakhir.
Data terakhir per 1 Mei, jumlah yang terpapar 19.164.969 orang, yang meninggal 211.853 orang. Hingga tanggal 1 Mei, jumlah penderita di seluruh dunia mencapai 152,025.280 orang; dan yang meninggal 3.193.937 orang.
AS tetap menduduki peringkat pertama (33.103.280), lalu India (19.164.969), Brasil (14.665.962), Perancis (5.616.689), dan Indonesia pada urutan ke-18 dengan jumlah penderita 1.668.368 orang, terbesar di Asia Tenggara.
Selama seminggu antara 18-25 April, dilaporkan 2,24 juta kasus baru. Ini jumlah tertinggi yang dicatat oleh negara mana pun dalam periode tujuh hari. Jumlah yang meninggal pun, menurut Kementerian Kesehatan India, meningkat hampir dua kali lipat dibanding seminggu sebelumnya (8.588 kematian) menjadi 16.257 kematian.
Kematian pertama di India karena Covid-19 terjadi pada 12 Maret 2020, di negara bagian selatan Karnataka. Butuh lima bulan untuk mencapai 50.000 orang. Pada bulan Oktober angkat kematian tercatat 100.000. Dan, pada bulan Januari 2021, sudah 150.000 orang meninggal. Setelah itu meningkat tajam, sehingga Rabu lalu tembus 200.000 orang.
Angka-angka itu berbicara.
II
Yang menarik, angka kematian yang dirilis bukanlah angka yang sesungguhnya.
“Tampaknya ada perbedaan besar antara catatan resmi kematian karena Covid-19 dan laporan kremasi serta penguburan,” kata Gautam Menon, seorang profesor fisika dan biologi di Universitas Ashoka, seperti dikutip Deutsche Welle, Senin (26/4).
Kata Gautam Menon, angka sebenarnya ditekan.
“Jumlah kematian, mungkin 5 hingga 10 kali lipat dari jumlah resmi. Bersama dengan kasus yang tidak dilaporkan dan rasio positif tes yang besar yang kami lihat di seluruh negeri, skala sebenarnya dari pandemi mungkin jauh lebih buruk.”
Menurut laporan BBC News (28/4/2020), menghitung kematian di rumah sakit saja tidak akan cukup untuk mendapatkan jumlah akurat kematian akibat Covid-19. Mencoba mendapatkan angka kematian dari krematorium dan tempat pemakaman sama sulitnya. Banyak jenazah India dikremasi di tempat terbuka di daerah pedesaan. Layanan pemakaman hanya melayani sebagian kecil populasi.
Setiap tahun, di India sekitar 10 juta orang meninggal. “The Million Death Study” menemukan bahwa beberapa kematian dianggap remeh (India hanya memiliki 100.000 kematian dini akibat HIV pada tahun 2005, sekitar seperempat dari total yang diperkirakan oleh WHO) dan beberapa di antaranya terlalu tinggi (lima kali lebih banyak kematian akibat malaria seperti yang diperkirakan WHO). Juga, menurut pengakuan pemerintah, hanya 22 persen kematian di India yang bersertifikat medis.
Hal itu terjadi karena kurangnya sistem pencatatan kematian yang efektif di banyak negara bagian. Kata Jacob John, ahli virus terkenal (Deutsche Welle, 26/4), pencatatan kematian di India buruk. Pemerintah hanya memiliki sedikit data untuk menanggapi dampak Covid-19 pada sebagian besar populasi yang tinggal di daerah pedesaan. India tidak memiliki sistem kesehatan masyarakat. Karena itu, penyebab kematian jarang dicatat. Dan, sekarang ini, apakah meninggal karena Covid-19 atau sebab lain, tidak jelas.
Lalu ada pertanyaan tentang bagaimana mendefinisikan kematian karena Covid-19. Beberapa dokter India telah melaporkan bahwa banyak orang meninggal karena gejala Covid-19 tanpa dites atau “dirawat”. Ada pula diagnosis yang salah. Dokter sering salah mendiagnosis penyebab kematian.
III
Apa yang terjadi di India, memberikan gambaran jelas betapa dahsyatnya serangan Covid-19, serta buruknya sistem kesehatan di negara itu. Tragisnya, lonjakan jumlah penderita terjadi beberapa bulan setelah para pemimpin dan pejabat kesehatan India menyatakan berhasil membasmi Covid-19 secara efektif dengan lockdown dan secara ketat memaksa masyarakat mengenakan masker.
Deklarasi kemenangan, menurut para ahli kesehatan, terlalu dini. Akibatnya telah mendorong orang untuk rileks ketika mereka seharusnya terus mematuhi secara ketat jarak fisik, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan besar.
Misalnya, pemerintah membiarkan kampanye pemilu dan perayaan hari keagamaan secara besar-besaran, pun pula dengan protokol kesehatan yang kendor.
Yang terjadi sekarang ini, menurut sejarawan Ramachandra Guha, India menghadapi, “krisis terberat sejak partisi.” Yang dimaksud partisi adalah pecahnya anak benua itu menjadi dua negara India dan Pakistan pada 1947. Perpecahan itu diwarnai kerusuhan berdarah-darah, yang menewaskan antara 200.000 hingga 2.000.000 orang.
Kini, amukan Covid-19 belum terkendali. Pemerintah Modi pun, meminta angkatan bersenjata untuk membantu memerangi krisis yang menghancurkan. Sementara itu, program vaksinasi India yang berpenduduk lebih dari satu miliar itu tampak kesulitan. Sejauh ini baru hampir 10 persen penduduk negara itu telah menerima vaksinasi tahap pertama, dan baru 1,5 persen yang sudah menerima dua kali vaksinasi.
Semoga, pengalaman India menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita bangsa Indonesia, untuk selalu ingat dan waspada. Bahaya mengancam!