GELORA.CO - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui memang ada wacana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Meski begitu, kata dia, wacana ini masih dalam tahap pembahasan dan sedang digodok bersama anggota parlemen.
"Terkait PPN, tentu masih ada pembahasan, karena ini menjadi bagian perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP dan tatacara perpajakan," kata Airlangga saat acara halal bihalal bersama wartawan secara virtual, Rabu (19/5/2021).
Untuk itu, kata dia, kepastian naik atau tidaknya tarif PPN ini bergantung pembahasan yang akan dilakukan pemerintah dan DPR.
Presiden Joko Widodo, lanjut Airlangga, juga sudah berkirim surat ke Senayan untuk dilakukan pembahasan secepatnya.
Namun, pemerintah juga tetap akan memperhatikan kondisi perekonomian, apalagi pandemi virus covid-19 belum juga berakhir.
"Presiden telah memberi kirim surat kepada DPR untuk membahas ini. Diharapkan dapat segera dilakukan pembahasan. Namun prinsipnya pemerintah tentu memperhatikan situasi perekonomian nasional," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewacanakan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 15 persen dari saat ini 10 persen.
Kenaikan ini bikin masyarakat kaget karena akan dilakukan pada tahun 2022 mendatang dengan kondisi pandemi Covid-19 yang diprediksi masih ada.
"Saya kira publik harus mendengar jauh lebih luas, dan ini menjadi titik penting agar keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus didiskusikan banyak kalangan, banyak pihak," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam acara diskusi virtual, bertajuk 'PPN 15 Persen, Perlukah di Masa Pandemi?' Selasa (11/5/2021).
Wacana kenaikan tarif PPN ini, lanjut dia diketahui pertama kali dalam acara Musrenbang Bappenas beberapa waktu lalu dan disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menurut Tauhid, peluang untuk menaikkan PPN memang terbuka lebar dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambangan Nilai. Sebab dalam pasal 1 beleid tersebut, tarif PPN bisa diubah paling rendah 5 persen dan paling tinggi 10 persen.
Sementara itu, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan wacana ini akan semakin menggerus daya beli masyarakat yang sudah lesu akibat pandemi Covid-19.
"Kalau ada penyesuaian tarif atau kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 15 persen maka tentunya akan terjadi kenaikan harga barang," kata Rizal.
Rizal mengatakan kenaikan PPN ini akan berdampak langsung kepada masyarakat karena bebannya ditanggung oleh konsumen, sehingga dirasa memberatkan.
"Sebagai informasi PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dibebankan kepada konsumen, maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan, semakin tertekan lagi," ucapnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, dalam pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa tarif pajak dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 10 persen yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sehingga kata dia kenaikan PPN sangat kurang tepat dilakukan, karena sifat kenaikannya dibebankan kepada konsumen sehingga semakin menurunkan daya beli masyarakat. [sc]