GELORA.CO - Sengkarut kasus dugaan izin palsu dan pencatutan nama Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim untuk Universitas Painan di Tangerang, Banten semakin panjang.
Kasus yang menjerat Profesor Sudadio kembali memunculkan nama tersangka baru.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 17 Februari 2021 dan Sudadio telah ditetapkan sebagai tersangka. Sudadio diketahui dilaporkan atas dugaan pemalsuan dokumen sesuai yang tertera pada Pasal 263 KUHP Ayat 1 dan 2 atau Pasal 93 juncto Pasal 60 Ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Kepolisian bergerak cepat mengusut perkara ini dan menetapkan empat tersangka baru, Sabtu (1/5/2021). Total kini ada lima tersangka dalam kasus izin palsu dan pencatutan nama Nadiem.
"Ada 5 orang yang sudah kita tetapkan tersangka," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (1/5/2/2021).
Yusri menyampaikan kasus ini terkait masalah take over Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kediri menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan di Tangerang, Banten. Kelima tersangka ini, kata Yusri, saling berhubungan.
"Lima orang ini saling berhubungan yang mengatur perubahan STIE Kediri di-take over ke Painan yang ada di Tangerang dengan memalsukan surat SK Mendikbud," kata Yusri.
Yusri menyebut pihak yayasan telah menyiapkan sejumlah uang untuk memuluskan pemalsuan SK dalam pengambilalihan STIE Kediri ke STIH Painan. Uang tersebut, lanjutnya, dibayar secara bertahap.
"Rp 1,3 M yang harus disiapkan oleh Yayasan Provinsi Painan untuk bisa meluluskan itu semua, dibayar 3 tahap. Di-take over ceritanya gitu, tapi di tengah jalan dipalsukan SK Mendikbud ini untuk meloloskan kampus hukum, lalu doktoral, semua dipalsukan," jelasnya.
Lebih lanjut, Yusri menyatakan kelima tersangka ini berasal dari STIE Kediri dan STIH Painan. "(Kelima tersangka dari) Painan dan Kediri," ucapnya.
Sementara itu, Sudadio bersikeras membantah pernah terlibat dalam kasus ini. Dia bahkan heran mengapa dirinya sampai ditetapkan sebagai tersangka.
"Saya demi Allah-Rasulullah, 100 persen saya tidak tahu-menahu proses pendirian dan sampai terbit SK. Apalagi saya mencatut nama menteri. Kalau mencatut itu ada dua macam, mengatasnamakan atau memalsukan tanda tangan, sama sekali nggak. Bodoh benar saya diberi Tuhan (gelar) profesor kok bisa seperti itu," ujar Sudadio saat berbincang dengan detikcom melalui sambungan seluler di Serang, Sabtu (1/5/2021).
Sudadio menceritakan, awalnya ia diminta bekerja di STIH Painan pada Desember 2019. Waktu itu, ia diangkat sebagai Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Penjamin Mutu (LP3M).
Pada Oktober 2020, ia mendengar ketua yayasan akan membuka Universitas Painan. Ia hanya mendengar itu dan tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan dokumen. Lalu pada Januari 2021, pihak yayasan menunjuknya sebagai Plt Ketua STIH Painan.
"Proses membuat dokumen segala macam tidak pernah terlibat, saya tidak pernah dilibatkan, diikutkan, tapi dengar memang, dan saya saat itu ditunjuk sebagai ketua bayangan STIH. Itu katanya dibeli dari Jawa Timur dan itu pun saya tidak tahu. Harga segala macam, saya tidak tahu," ungkapnya.
Singkat cerita, proses pengurusan dokumen itu kemudian terbit. Sudadio mengaku hanya mengetahui ketua yayasan Patwan Siahaan menerima SK dari seseorang bernama Nining. Nining, sebutnya, menerima SK itu dari Dikti.
"SK itu Ibu Nining terima dari Dikti dan Bu Nining memberikan SK itu ke Pak Patwan. Harusnya ini harus digali dalam-dalam siapa yang membuat, siapa yang menerima sesungguhnya," jelasnya.
"Bahwa 100 persen, 1.000 persen saya tidak tahu dan tidak pernah diajak, bahkan ikut dalam rapat dalam forum apa pun proses pembukaan pembuatan dokumen segala macam hingga penerimaan SK saya tidak tahu-menahu," lanjutnya menegaskan.(dtk)