GELORA.CO - Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi para pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghasilkan 75 orang dinyatakan tidak memenuhi syarat berujung dengan tudingan yang mengarah kepada Presiden Joko Widodo dari sejumlah pihak.
Jokowi dianggap menjadi pihak yang berupaya melemahkan lembaga antirasuah tersebut melalui TWK, sebagai proses peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan UU 19/2019 tentang KPK.
Tudingan itu kontan ditolak mentah-mentah oleh Staf Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin.
"Saya menolak tuduhan dan keberatan termasuk di dalamnya ada (tuduhan) upaya pemerintah, ada upaya presiden, untuk menyingkirkan orang, kemudian ada upaya untuk melemahkan KPK. Itu cara berpikir rendah. Ucapan-ucapan sampah yang sungguh sangat tidak bermoral kepada seorang kepala negara," ujar Ali Ngabalin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu malam (12/5).
Secara khusus Ngabalin menyoroti beberapa tuduhan itu. Yakni, adanya anggapan bahwa TWK tidak diatur di dalam UU 19/2019. Menurut Ngabalin, mereka yang menuduh itu lupa adanya Peraturan Pemerintah (PP) 41/2020.
"Yang jadi lucu lagi itu, mereka menuduh bahwa ada upaya pemerintah. Ini cara-cara berpikir prejudice. Karena Peraturan KPK 1/2021 itu mengatur tentang tata cara peralihan pegawai KPK menjadi ASN," kata Ngabalin.
"Itu yang saya tidak mengerti, di mana celah yang mereka lihat bahwa ada intervensi pemerintah dari Presiden Joko Widodo dalam rangka menyingkirkan orang-orang yang pernah menolak UU KPK?" sambungnya.
Ngabalin menegaskan, seluruh rangkaian TWK tidak ada sama sekali hubungannya dengan pemerintah. Bukan pula ada intervensi atau keterlibatan pemerintah.
"Jadi kalau baca komentarnya, lucu. Yang lolos itu kalau enggak salah 1.247, yang tidak lolos itu 75. Apakah 75 orang itu tidak ada di KPK, kemudian KPK itu rontok?" terang Ngabalin.
Menurut Ngabalin, hal tersebut mustahil karena saat ini yang sedang dibangun di KPK adalah sistem.
"Ya mustahil lah (KPK rontok). Yang dibangun adalah sistemnya. KPK itu sejak awal Presiden berpendapat sebagai lembaga yang memiliki independensi, lembaga yang kuat dan berwibawa, maka dia harus didukung dan backup dengan UU yang kuat, itu lah UU 19/2019," tutur Ngabalin.
"Jadi kalau masih saja Jokowi itu menjadi tertuduh, itu artinya orang-orang yang pikirannya menggunakan standar berpikir otak terbalik, otak sungsang namanya," tambah Ngabalin.
Otak sungsang yang dimaksud Ngabalin adalah adanya prasangka tanpa adanya bukti, tanpa ada fakta-fakta yang kuat.
"Itu yang selalu abang bilang kalau ini cara-cara berpikir yang prejudice>, cara-cara berpikir orang sungsang, otak terbalik, yang sesungguhnya ini adalah merusak kerangka berpikir orang-orang yang sehat lahir batin," pungkasnya.[rmol]