GELORA.CO - Masyarakat Indonesia semakin takut dalam menyatakan pendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo jilid II. Setidaknya cerminan itu tergambar dalam hasil survei yang dirilis Lembaga Pendidikan, Penelitian, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Rabu kemarin (5/5).
Peneliti LP3ES, Erwan Halil menjelaskan sebagian besar masyarakat atau sebanyak 52,1 persen setuju bahwa ancaman kebebasan sipil meningkat dan mengakibatkan meningkatnya ketakutan masyarakat dalam berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sebagai fondasi penting kebebasan.
“Kondisi ini juga diperkuat dengan kinerja sektor pemerintahan, di mana kebebasan berorganisasi/berpendapat mendapat penilaian publik hanya sebesar 59,2 persen,” ujar Erwan Halil.
Namun demikian meskipun memiliki ketakutan untuk berpendapat, masyarakat kita secara intens masih mengikuti perkembangan informasi sosial dan politik melalui media massa dan sosial media.
“Temuan survei menunjukkan dimasa pandemic Covid-19 ini publik tidak apatis dengan isu sosial politik. Melalui media, masyarakat kita memberikan perhatian pada isu-isu yang dianggap penting seperti konflik Partai Demokrat, korupsi bansos, Asabri, bom bunuh diri Makassar, hingga kontestasi parpol serta kandidat capres menuju 2024” terangnya.
Sepentara itu, peneliti LIPI Firman Noor menilai bahwa perhatian masyarakat pada isu-isu seperti konflik partai merupakan indikasi pentingnya memperkuat kelembagaan politik di tanah air.
“Perhatian yang besar dari masyarakat pada isu sosial dan politik sangat baik dalam membangun rasionalitas demokrasi,” tegasnya.
Dia menekankan bahwa kelembagaan politik yang baik cenderung membangun sistem internal dibandingkan dengan figur politik, kaderisasi yang berlangsung terus-menerus, otonom atau mandiri secara keuangan dan eksis dalam segala situasi.[rmol]