GELORA.CO - Direktur Esekutif Indonesian Presidential Studies (IPS)-Jakarta, Nyarwi Ahmad, menilai karier politik Ganjar Pranowo di PDIP di ujung tanduk menyusul tidak diundangnya gubernur Jawa Tengah itu dalam acara pengarahan Pemilu 2024.
"Bukan tidak mungkin, nasib Ganjar Pranowo untuk dapat memaksimalkan karier politiknya melalui PDI Perjuangan sudah di ujung tanduk," kata Ahmad dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin, 24 Mei 2021.
Ia melihat dari perspektif pemasaran politik ada empat hal menarik untuk dicermati di balik peristiwa fenomenal tidak diundangnya Ganjar Pranowo, yang merupakan kader PDIP dalam acara pengarahan Pemilu 2024 yang diselenggarakan PDIP Jawa Tengah yang dihadiri Puan Maharani sebagai ketua DPP PDI Perjuangan.
Data survei IPS awal April 2021, untuk 30 nama calon presiden, menunjukkan bahwa elektabilitas Pranowo sebesar 14,4 persen. Elektabilitas ini berada di urutan kedua setelah Prabowo (25,4 persen).
Dalam bursa calon wakil presiden, untuk 30 nama, Pranowo juga berada di urutan nomor 3, yaitu 8,3 persen setelah Anies Baswedan (12,8 persen). Tingkat elektabilitas ini juga tidak banyak mengalami perubahan untuk survei dengan 18 dan 10 nama calon presiden-wakil presiden.
Kendati demikian, potensi elektabilitas Pranowo ini bisa tidak akan bermakna, jika dia gagal mendapatkan dukungan internal dari pimpinan PDIP.
Dalam pengarahan itu, baik Puan maupun Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto, memberikan pernyataan mengenai tidak diundangnya Pranowo.
Menurut Ahmad, meski memiliki tingkat elektabilitas yang cukup tinggi, Pranowo berpotensi kehilangan peluang untuk mendapatkan tiket dari PDIP agar bisa masuk dalam bursa Pemilu 2024.
"Sebagaimana yang dipotret sejumlah lembaga survei, termasuk IPS, Ganjar selama beberapa bulan terakhir makin populer dan tingkat elektabilitasnya juga cukup tinggi melampau deretan sejumlah publik figur dan para tokoh pimpinan partai, termasuk Puan Maharani sendiri," ujarnya.
Hal menarik lain dalam peristiwa fenomenal ini, menurut dia, dinamika di internal PDI Perjuangan terkait dengan bursa calon presiden-wakil presiden dalam Pemilu 2024 mendatang tampaknya kian hangat dan memanas.
PDIP, katanya, tampak makin terbuka untuk mengingatkan para kadernya khususnya yang menjadi publik figur popular dan memiliki potensi elektabilitas tinggi agar tidak off side.
"Kritik yang disampaikan Bambang Wuryanto ke Ganjar Pranowo mengindikasikan hal itu," kata Ahmad.
Ia mengungkapkan, dalam Pemilu 2024, PDIP tampaknya memiliki orientasi yang berbeda dengan parpol-parpol lain, dan berbeda dengan yang pernah dilakukan dalam Pemilu 2014 dan 2019; mencalonkan sosok yang lebih populer dan memiliki elektabilitas tinggi seperti Joko Widodo. Saat itu Jokowi adalah gubernur DKI Jakarta setelah sebelumnya menjadi wali kota Solo.
Menurut dia, arah PDIP untuk Pemilu 2024 tampaknya makin jelas dengan untuk menjagokan figur tertentu di luar sosok populer sebagaimana Pranowo. "Dukungan pasar politik internal di PDIP terhadap Ganjar Pranowo tampak masih belum aman," ujarnya.
Pandangan lain, kata Ahmad, apa yang disampaikan Puan menunjukkan PDIP mengedepankan model pemasaran politik tradisional yang berbasis pada ideologi parpol. "Di sini parpol ditempatkan sebagai elemen terpenting," katanya.
Ia menyatakan, parpol yang menganut model pemasaran ini biasanya lebih mengedepankan kinerja kolektif organisasi parpol sebagai produk politik utamanya, dibandingkan citra dan kinerja para publik figur yang dimiliki oleh/menjadi kader parpol yang selama ini menduduki jabatan publik, termasuk kepala daerah/gubernur.
Sedikitnya ada tiga syarat agar model pemasaran politik tradisional yang dijalankan PDIP efektif, yakni syarat pertama, keanggotaan partai yang kuat dan mengakar yang ditandai dengan kepemilikan kartu anggota; walau pada PDIP hal ini belum merata di seluruh Indonesia melainkan hanya di Pulau Jawa, terkhusus di Jawa Tengah.
Syarat yang kedua, PDIP mampu menata struktur organisasi kepartaiannya tidak hanya sebagai organisasi partai politik, namun juga menjadi mesin pemasaran politik yang efektif dan penetratif.
Syarat ketiga, para elite PDIP, khususnya yang menjadi publik figur atau menjabat di lembaga-lembaga negara/pemerintahan mampu lebih memasarkan partainya, dibandingkan dengan dirinya.
Ia menyatakan, kritik yang disampaikan Wuryanto ke Pranowo --agar Pranowo tidak terlalu ambisius masuk dalam bursa calon presiden 2024-- sepertinya dapat dibaca sebagai peringatan bagi semua kader PDIP yang saat ini menjadi pejabat publik.
Hal ini secara khusus ditujukan kepada kader-kader memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, agar lebih mampu ‘memasarkan’ parpolnya, bukan sekedar ‘memasarkan’ dirinya saja.
"Namun, hal itu sepertinya tidak mudah, karena dalam panggung politik lokal dan nasional saat ini, visibilitas profil dan kinerja elit-elit parpol, khususnya yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif, lebih menonjol, dibandingkan visibilitas kinerja organisasi parpolnya," kata Ahmad.[viva]