GELORA.CO - Kunjungan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ke Kantor Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hari Kamis kemarin (6/5) dibaca sementara kalangan sebagai bukan kunjungan biasa.
Keduanya pernah bertarung di arena pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Dalam pertarungan itu, AHY dan pasangannya, Sylviana Murni yang sekarang menjadi anggota DPD RI mewakili Jakarta, kalah di putaran pertama.
Sementara Anies Baswedan dan pasangannya, Sandiaga Uno yang sekarang adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, melaju ke putaran kedua menghadapi petahana kala itu, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Sjaiful Hidayat.
Di putaran kedua, hampir semua pendukung AHY-Sylvi memberikan suara kepada pasangan Anies-Sandi sehingga perolehan suara pasangan ini melejit dari 39.95 persen di putaran pertama menjadi 57,96 persen di putaran kedua.
Adapun suara Ahok yang kini adalah Komisaris Utama PT Pertamina dan Djarot yang kini adalah anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, nyaris stagnan di 42 persen.
Hadapi Poros Batutulis-2
Selain berbau nostalgia, mau tidak mau pertemuan AHY dan Anies di selatan Monas itu sekaligus membuka pembicaraan mengenai kehadiran poros baru yang akan bertanding di bursa Pilpres 2024 menghadapi poros Batutulis-2 yang sudah sejak beberapa waktu lalu kerap disebut-sebut.
Poros Batutulis-2 ini terdiri dari Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan, dan Puan Maharani yang adalah salah seorang Ketua PDI Perjuangan dan juga Ketua DPR RI.
Disebut poros Batutulis-2 karena ia kabarnya adalah kelanjutan dari kesepakatan Batutulis yang pernah ada antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto ketika keduanya berpasangan di Pilpres 2009.
Kesepakatan Batutulis yang ditandatangani tanggal 16 Mei 2009 itu terdiri dari tujuh butir, dan di butir terakhir dengan jelas disebutkan bahwa Megawati Soekarnoputri akan mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2014.
Tetapi Megawati ingkar. Butir ketujuh ini tidak dilaksanakannya. Pada Pilpres 2014, Megawati dan PDIP mendukung Joko Widodo, begitu juga pada Pilpres 2019. Di kedua pilpres itu Joko Widodo berhasil mengalahkan Prabowo Subianto dengan perbedaan suara signifikan.
Seusai Pilpres 2019, Megawati dan Prabowo sepakat untuk menormalisasi hubungan mereka yang sempat tak harmonis untuk waktu cukup lama. Normalisasi itu terjadi persis sebelum Prabowo menerima lamaran Jokowi untuk membantunya di Kabinet Indonesia Maju.
Konon dalam pembicaraan di Jalan Teuku Umar pada tanggal 24 Juli 2019 itu sempat dibicarakan, atau setidaknya ada isyarat untuk, menghidupkan kembali kesepakatan Batutulis.
Bedanya, dalam kesepakatan kali ini, Megawati menyorongkan nama putrinya, Puan Maharani, sebagai calon wakil presiden, dengan berbagai pertimbangan, terutama terkait regenerasi di tubuh PDIP.
Poros Serpong?
Sehari setelah pertemuan Anies Baswedan dan AHY, publik kembali dikejutkan dengan pertemuan tiga tokoh pada Jumat malam (7/5) di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong. Ketiganya adalah ekonom senior DR. Rizal Ramli, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti.
Gatot Nurmantyo adalah pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi pada 17 Agustus 2020 lalu. Namun belakangan, setelah sejumlah aktivis KAMI ditangkap dengan berbagai tuduhan, Gatot Nurmantyo seperti mengurangi intensitasnya untuk muncul di hadapan publik.
Tidak seperti Gatot Nurmantyo, La Nyalla Mattalitti justru sedang sangat bersemangat memperkenalkan dirinya sebagai salah seorang penantang di bursa pemilihan presiden.
Kubu pendukung La Nyalla, beberapa waktu belakangan ini dengan sangat aktif memproduksi poster yang menggambarkan keinginan La Nyalla tampil dalam Pilpres 2024. Juga merilis video-video singkat yang memperlihatkan dukungan akar rumput untuk La Nyalla.
Adapun Rizal Ramli bergerak dengan dinamika yang relatif stabil. Ia tak pernah berhenti atau surut sedikitpun menyampaikan kritik-kritik membangun terhadap tim ekonomi pemerintah yang dirasa terlalu berpihak pada kepentingan asing, dan tidak memberikan perlindungan yang cukup kepada rakyat banyak.
Ketergantungan pada strategi utang ugal-ugalan yang ditampakkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi salah satu sasaran kritik Rizal Ramli, di samping praktik politik oligarki dan koncoisme yang tengah populer di kalangan elit penguasa baik di pusat maupun daerah.
Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi yang juga hadir dalam pertemuan mengatakan, nilai penting dari pertemuan Serpong itu adalah bersatunya semua kekuatan oposisi sebagai energi yang dibutuhkan untuk mengkoreksi perjalanan bangsa yang banyak melenceng.
Selain Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, dan La Nyalla, juga Adhie Massardi, tokoh lain yang hadir adalah Ketua Umum Partai Masyumi Baru Ahmad Yani, politisi Partai Ummat MS Kaban, mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Said Didu, dan Natalius Pigai.
“Pertemuan Serpong ini lebih memberikan harapan agar terjadi perubahan ke arah perbaikan,” demikian Adhie Massardi. (RMOL)