GELORA.CO - Pemilu Presiden 2024 masih tiga tahun lagi. Namun, dinamika menuju ke sana sudah mencuat dengan bertebarnya rilis lembaga survei terkait elektabilitas sejumlah figur yang digadang-gadang jadi calon presiden.
Pengamat politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menyampaikan sebenarnya Indonesia memiliki capres potensial yang melimpah. Namun, mesti realistis karena dalam sistem politik ada pemberlakuan ambang batas presidential threshold (PT) 20 persen
Menurut dia, dengan PT 20 persen akan menjadi penghalang sehingga tokoh-tokoh potensial tersebut akan layu sebelum berkembang.
"Ini pada akhirnya akan membunuh talenta-talenta potensial dan menyisakan ruang permainan hanya berputar-putar pada permainan tingkat partai papan atas sebagai otoritas pemegang kendali pemberian tiket pencapresan pada siapa diinginkan melalui lobi-lobi politik belakang layar," kata Pangi, dalam keterangannya yang dikutip pada Senin, 31 Mei 2021.
Dia bilang tiket itu menjadi otoritas partai politik. Pun, elektabilitas racikan elektoral yang tinggi seakan-akan percuma.
Pangi menjelaskan merujuk pemilu sebelumnya, maka dipastikan otoritas tiket hanya akan dimonopoli partai-partai papan atas.
"Sehingga nama-nama yang berseliweran hari ini pada lembaga lembaga survei hanya akan menjadi hiasan di pemberitaan media dan akan hilang bahkan sebelum pestanya dimulai," tutur Pangi.
Menurutnya, elektabilitas bukan kunci mendapatkan tiket pencapresan. Kata dia, meski Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, atau Ridwan Kamil memiliki elektabilitas tinggi namun tetap parpol yang menentukan nama-nama yang diusung.
"Adanya president threshold 20 persen, elektabilitas dan popularitas terkadang tak punya korelasi linear terhadap proses pencapresan, kalau pun iya tapi tidak menjadi faktor mutlak, itu bisa jadi bonus," tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, ia menilai bukan tidak mungkin nanti ada figur capres bukan berlatarbelakang kepala daerah, menteri, atau ketua umum.
"Saya pikir nanti akan ada juga capres kaget, publik terkaget bahkan bukan tidak mungkin nama-nama capres di luar cluster kepala daerah, menteri dan ketua umum parpol," jelas Pangi.
Kemudian, ia menambahkan simulasi capres hanya akan berputar-putar pada partai-partai itu-itu saja karena bisa memenuhi PT. Hal ini lantaran sistem pemilu yang membatasi ruang gerak capres potensial.
"Semisal PDIP, Gerindra dan Golkar, sisanya gabungan partai papan tengah Itupun kalau tidak ada koalisi gemuk yang menggembosi partai papan tengah," sebutnya.
Menurut Pangi, bila ingin sesuatu yang baru dan Pilpres 2024 lebih atraktif maka presidensial threshold harus dihapuskan. Namun, bila dengan PT 20 persen maka diprediksi akan ada tiga poros koalisi di Pilpres 2024. "Perkiraaan saya bakal ada tiga poros nanti cukup potensial pada Pilpres 2024," jelasnya.
Dia menyebut poros pertama yaitu koalisi PDIP-Gerindra-PKB dengan simulasi mengusung pasangan Prabowo Subianto-Puan Maharani. Lalu, poros kedua yaitu koalisi Nasdem-PKS-Demokrat dengan simulasi pasangan Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Selanjutnya, poros ketiga yakni koalisi alternatif Golkar-PPP-PAN dengan simulasi pasangan bisa nama antara lain seperti Airlangga Hartarto, Erick Tohir. "Terlepas dari partai mana yang nanti meminangnya menjadi capres termasuk nama Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil," tuturnya.
Dia bilang selama ini dalam koalisi politik, lebih kuat DNA berbasiskan kekuasaan pragmatis ketimbang ideologis.
Namun, ia menyampaikan tetap harus mendorong lebih dari dua pasang calon presiden.
Pangi merujuk data survei Voxpol Center bahwa sebesar 40,6 persen ingin Pilpres 2024 diikuti lebih dari 2 pasang capres/cawapres. Atau bisa memunculkan sebanyak mungkin capres alternatif, meskipun terbentur PT 20 persen.
"Jangan sampai terulang rematch pilpres bipolar, akibatnya keterbelahan publik makin menganga lukanya, karena nggak ada capres alternatif sebagai pemecah gelombang dua kutub tersebut," tutur Pangi. []