Oleh:Radhar Tribaskoro
AKHIRNYA Pengadilan Negeri Depok memutuskan Syahganda Nainggolan terbukti bersalah telah melanggar pasal 15 UU No 1/1946. Atas dasar itu Hakim PN Depok memvonis Syahganda dengan hukuman penjara 10 bulan.
Pada saat yang sama, Pengadilan menolak tuduhan Jaksa atas pelanggaran pasal 14 ayat 1 dan pasal 14 ayat 2 UU No.1/1946. Putusan tersebut dibacakan pada Kamis, 29 April 2021.
Putusan tersebut menegaskan, bahwa menurut Pengadilan Negeri Depok, Syahganda Nainggolan tidak terbukti melakukan kebohongan (ps 14a1, ps 14a2), tetapi terbukti menyiarkan kabar yang tidak pasti, berkelebihan atau tidak lengkap (ps 15).
Putusan itu sendiri sangat singkat, hanya mencantumkan diktumnya saja, tanpa considerans. Dengan kata lain, dalam putusannya itu hakim tidak merekonstruksi kasus kejahatan yang terjadi berdasarkan bukti dan fakta di persidangan.
Akibatnya, publik tidak bisa berefleksi atas apa yang sebenarnya terjadi dan dengan sendirinya publik tidak bisa belajar dari kasus terkait.
Setidaknya ada tiga pertanyaan terkait vonis PN Depok itu. Ketiganya membutuhkan jawaban untuk memastikan bahwa putusan tersebut beralasan.
Ketiga pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kabar? Apakah percakapan (conversation) dapat dikategorikan sebagai penyiaran kabar? Pertanyaan ini penting untuk mengetahui seberapa jauh dampak dari putusan pengadilan, apakah percakapan pribadi sudah tidak bebas lagi?
2. Dari sisi original intent, dapat dipertanyakan apa alasan perancang undang-undang menuliskan pasal 15 di UU No.1/1946. Apakah pada waktu itu legislator ingin mengatasi merebaknya kabar angin yang disebarkan oleh media massa (koran atau surat kabar) di negara yang baru merdeka itu, atau mereka juga menyasar kepada percakapan penduduk pada umumnya?
3. Putusan PN Depok tidak secara spesifik menjelaskan kejahatan perkabaran yang dibuktikan. Tidak jelas kabar sepasti apa, selengkap apa dan seberlebih apa yang dapat digolongkan sebagai kejahatan.
Ketidakjelasan tersebut harus dihindari agar tidak membuka peluang kesewenang-wenangan aparat.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas perlu diberikan karena masyarakat berhak mengetahui apa yang salah/jahat dan mengapa hal itu salah/jahat. Rekonstruksi perkara memungkinkan masyarakat berefleksi dan menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran.
Artikel ini bermaksud menguraikan ketiga pertanyaan yang disampaikan di atas. Uraian tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran penulis kepada dampak putusan terhadap demokrasi.
Seperti diketahui pengadilan Syahganda memasuki wilayah abu-abu, di antara kebebasan berbicara yang dilindungi dan pembatasan-pembatasannya. Oleh karena itu putusan pengadilan harus dibuat sespesifik mungkin untuk menghindari penafsiran yang terlalu luas sehingga malah merugikan demokrasi.
Kabar Nyata (Real News)
Pasal 15 UU No.1/1946 yang dipergunakan sebagai pasal dakwaan menyebutkan, "Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun."
Dari teks pasal 15 itu dapat disarikan bahwa perbuatan pidana yang dipersoalkan adalah (a) "menyiarkan kabar", (b) kabar tersebut tidak pasti atau berkelebihan atau tidak lengkap, (c) mengerti atau patut menduga berita tersebut dapat menerbitkan keonaran.
Kuncinya adalah apa yang dimaksud oleh pasal tersebut dengan "kabar"? Apakah semua bentuk percakapan lisan dan tulisan, di media massa dan media sosial dapat dianggap sebagai "kabar"? Dan apa pula yang dimaksud dengan "siaran"? Apakah percakapan saya dengan istri, kerabat, teman medsos, dianggap sebagai siaran?
Menurut ahli bahasa (KBBI), kabar adalah laporan tentang peristiwa yang biasanya belum lama terjadi, berita atau warta. Adapun berita (atau warta).
Menurut Wikipedia yang mengutip Ni Luh Ratih Maha Rani (2013), kabar adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media internet.
Sebuah laporan peristiwa menurut kaidah jurnalistik harus meliput 6 aspek atau dikenal dengan kaidah 5W1H (what, when, where, who, why, dan how) untuk dapat disebut berita.
Pada dasarnya sebuah berita harus sepenuhnya berisikan fakta. Namun kenyataan di lapangan seringkali fakta bercampur-aduk dengan opini. Dalam hal ini seorang pekerja pers mesti memiliki kapasitas membedakan antara fakta dan opini dalam berita.
Pelaporan opini seorang tokoh masih dapat dikategorikan sebagai berita asal dikutip sebagaimana adanya. Namun secara tegas kode etik jurnalistik melarang wartawan memasukkan opini pribadinya ke dalam penulisan berita (Masduki, 2004:47).
Wartawan, redaksi, atau pembaca surat kabar tidak dilarang menyampaikan opini mereka di media mereka. Namun mereka harus memisahkan tempatnya di halaman surat kabar dan menyebutkan dengan jelas bahwa artikel itu sebuah opini.
Maka di setiap surat kabar ada rubrik editorial atau tajuk rencana, di mana jurnalis (redaksi) menyampaikan opini mereka. Di seberang halaman tajuk rencana biasanya disediakan rubrik op-ed, opposite of editorial, yang berisikan opini masyarakat luar.
Dengan demikian kata "kabar" dalam pasal 15 UU No.1/1946 identik dengan berita, dan berita itu berisikan fakta dan opini. Suatu fakta dapat dikatakan berita, apabila memenuhi syarat antara lain telah dipublikasikan oleh seseorang atau institusi yang jelas identitasnya, alamat, dan penanggung jawabnya.
Fakta tersebut ditemukan oleh jurnalis dengan cara yang sesuai dengan standar operasional dan prosedur dalam profesi jurnalistik (Panuju, 2005 : 52). Inilah saya kira yang dimaksud dengan berita yang pasti, yaitu berita yang sumber informasinya verifiable dan diperoleh sesuai kode etik.
Berita tersebut dianggap lengkap bila memenuhi standar 5W1H dan tidak mencampuradukkan fakta dengan opini (tidak berkelebihan).
Tetapi siapakah yang berkewajiban memenuhi syarat-syarat seperti disebutkan di atas? Apakah orang awam yang bercakap-cakap, berbagi informasi dan pikiran dengan temannya, secara lisan atau tulisan, di internet atau telepon berkewajiban memenuhi syarat-syarat di atas? Tentu saja tidak!
Kalau hal itu diiyakan bisa dibayangkan bagaimana percakapan publik dilakukan: mesti ada kutipan, referensi sumber. Terasa sangat aneh bila untuk bercakap-cakap saja orang harus membuat ujaran sekelas artikel surat kabar.
Menurut hemat saya, dan sesuai dengan definisi yang dikutip oleh Wikipedia, orang atau badan yang wajib memenuhi aturan menyajikan kabar yang pasti, tidak berkelebihan dan lengkap itu adalah lembaga pers yaitu lembaga yang memang dirancang untuk menyiarkan berita ke khalayak seluas-luasnya. Lembaga penyiaran itu perlu memiliki aturan-aturan untuk menjamin kredibilitas dari berita-berita yang disiarkannya.
Jadi Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 itu ditujukan kepada lembaga siaran pada waktu itu yang terutama berbentuk surat kabar dan radio. Pasal itu dibikin untuk mensubstitusi UU Pers yang belum tersedia pada waktu itu.
Ketentuan pasal 15 itu tidak diarahkan kepada individu, untuk tujuan mengunci apa saja yang boleh mereka bicarakan. Itu sebabnya sampai saat ini tidak pernah terdengar ada orang dituntut melanggar pasal 15 itu. Penggunaan pasal tersebut dalam kasus Syahganda, sepengetahuan saya, adalah pertama kalinya.
Percakapan (Conversation)
Percakapan informal adalah komunikasi interaktif di antara dua orang atau lebih, mempertukarkan kabar dan pikiran (Oxford Languages; Wikipedia). Percakapan ini umumnya berlangsung dua arah. Sementara percakapan formal, seperti orasi atau pidato, berlangsung searah, dilakukan oleh satu orang kepada sekelompok orang.
Percakapan bisa berlangsung secara cooperative atau competitive. Percakapan cooperative bertujuan untuk membentuk saling-pengertian, bertukar informasi dan/atau mengambil kesimpulan bersama; sementara percakapan competitive bermaksud menemukan pemikiran terbaik.
Berdasarkan kedua kategori di atas, David W. Angel (2016) menemukan 4 tipe percakapan.
Tipe pertama adalah percakapan Discourse yang berlangsung satu arah, bergaya cooperative dan bertujuan menyampaikan informasi. Tipe kedua adalah percakapan Dialog yang berlangsung dua-arah dan cooperative dengan tujuan bertukar informasi dan membangun hubungan.
Tipe ketiga adalah percakapan Debat yang bergaya dua arah competitive dan bertujuan memenangkan atau meyakinkan lawan. Terakhir, percakapan Diatribe yang bergaya satu arah kompetitif dengan tujuan mengekspresikan perasaan dan menginspirasi.
Percakapan pada dasarnya adalah opini. Di dalam percakapan seseorang bisa saja menyampaikan informasi atau berita. Tetapi karena ia tidak memiliki kredibilitas penyampai berita, orang menganggapnya opini juga.
Berita yang berjalan dari mulut ke mulut sangat rentan erosi makna. Itu sebabnya lembaga-lembaga resmi menolak menjadikan informasi word of mouths sebagai rujukan.
Walau begitu, percakapan di dalam komunitas adalah suatu bentuk dialog politik generatif yang terbukti berhasil membangun keterlibatan masyarakat (Boyd & Bright, 2007).
Meiklejohn meyakini bahwa melindungi percakapan yang bebas tidak berbeda dengan melindungi hak berpendapat. Di dalam domain percakapan, opini hanyalah opini. Anda boleh menyampaikan pendapat anda sepenuh hati dan sepenuh keyakinan. Tetapi status moral percakapan anda itu hanya mengikat kepada diri anda sendiri. Tidak lebih.
Domain percakapan tidak menyediakan klaim kebenaran bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Berbeda dengan domain pekabaran dimana penyiar kabar mengklaim bahwa apa yang ia kabarkan adalah sesuai fakta atau kenyataan.
Klaim lembaga penyiaran itulah yang mendorong perlunya pengaturan, antara lain bahwa kabar tersebut pasti (sumbernya dan perolehannya sesuai norma), tidak berkelebihan (memcampuradukan opini dengan fakta) dan lengkap (5W1H).
Kesimpulan
Putusan hakim PN Depok pada kasus Syahganda Nainggolan dalam hemat saya telah mencampuradukkan pembicaraan publik yang terdiri dari 2 domain, yaitu percakapan publik dan pekabaran publik.
Percakapan publik adalah komunikasi interaktif dimana publik saling bertukar informasi dan opini. Komunikasi ini sehat, bermanfaat, dan maslahat sehingga tidak membutuhkan pengaturan bahkan menuntut perlindungan negara.
Cuitan Twitter Syahganda, menurut saya termasuk kategori percakapan publik. Lebih spesifik, cuitan tersebut termasuk tipe Diatribe yang mengungkapkan perasaan dan pemihakan kepada nasib buruh yang (menurut pendapatnya) dirugikan oleh UU Cipta Kerja yang dibuat oleh pemerintah.
Apa yang Syahganda sampaikan adalah sebuah pendapat, bukan kabar.
Oleh karena itu percakapan Syanganda di Twitter-nya tidak berada dalam domain pekabaran. Syahganda Nainggolan bukan penyiar berita. Ia memang berbicara kepada ribuan orang followernya di twitter, tetapi apa yang ia sampaikan adalah opini bukan kabar berita.
Dengan kata lain, Syahganda tidak terikat kepada ketentuan menyampaikan kabar yang pasti, tidak berkelebihan dan lengkap sebagaimana dituntut oleh Pasla 15 UU No.1/1946.
(Pemerhati politik)