GELORA.CO - Sebanyak 1.271 pegawai KPK dinyatakan lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status menjadi ASN. Sementara 75, dinyatakan tidak lulus. Bahkan 51 di antaranya sudah tidak bisa lagi bekerja di KPK karena mendapatkan rapor merah. 24 lainnya, diarahkan mengikuti diklat, untuk kemudian ditentukan lulus atau tidak jadi ASN.
Kondisi ini dinilai bermula saat pimpinan KPK kukuh memasukkan TWK dalam syarat alih status pegawai. Padahal dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dan juga PP Nomor 41 Tahun 2020, tidak ada syarat dalam alih status pegawai tersebut. Mereka bisa langsung menjadi ASN.
Selain bermasalah dari sisi hukum. TWK juga dinilai bermasalah dari segi substansi. Mereka yang lulus TWK pun buka suara bagaimana 'anehnya' pertanyaan-pertanyaan dalam tes tersebut. kumparan berkesempatan berbincang dengan 2 orang pegawai yang lulus tes tersebut. Kedua pegawai yang tak mau disebutkan namanya itu bercerita soal tes yang mereka ikuti.
Sumber pertama mengatakan bahwa apa yang beredar di media terkait soal-soal TWK benar seperti itu. Sebab, ia pun mendapatkan soal yang sejenis.
"Aneh-aneh sih memang, sama anehnya. Anehnya dalam artian tidak nyambung, kalau mau dikaitin sama kebutuhan kompetensi KPK juga enggak nyambung," kata pegawai tersebut, Selasa (25/5).
"Jadi lebih kepada profiling orang gitu, orang kalau lihat wawasan kebangsaan mikirnya kan hubungan dengan Pancasila lah atau UUD segala macam, cuma kan ini dalam praktiknya tesnya sendiri enggak nyambung, banyak soal rasis, banyak soal yang apa, malah menyangkut agama, jadi malah profiling orang ini orang idealismenya seperti apa sih," lanjutnya.
Ia mengaku ditanyai soal LGBT. Lalu ada juga pertanyaan seperti apakah ia merupakan pendukung FPI atau HTI, atau bukan. Soal-soal berbau rasis juga ditanyakan semisal 'Cina itu rasis' hingga 'orang Jepang itu jahat'. Pertanyaan-pertanyaan ini dinilai tidak ada korelasinya dengan tugas di KPK. Terlebih tes itu dilakukan oleh TNI AD, BIN, dan lembaga sejenis.
"Sebenarnya pun terlepas dari isi pertanyaan TWK ini saya sih menilai sebenarnya sih hasilnya pun sudah ketebak. List-list orangnya itu semua, jadi sebenarnya mau apa pun isi pertanyaannya orang-orang ini yang kena yang enggak diloloskan," kata pegawai itu.
Senada, satu pegawai lainnya juga memberikan pengakuan serupa. Ia turut mendapatkan pertanyaan yang lebih tidak sesuai dengan tugas KPK. Mulai dari organisasi keagamaan hingga donor darah untuk orang yang berbeda agama.
"Misalkan terkait organisasi keagamaan, keluarga anda apa? apakah anda mau mendonorkan darah ke yang berbeda agama atau menerima? kemudian apakah anda mengucapkan selamat hari raya ke yang beda agama?" kata pegawai ini.
Selain itu, pertanyaan terkait kebijakan pemerintah soal tarif listrik hingga pengendalian COVID-19 juga ia dapatkan. Ia menilai pertanyaan-pertanyaan ini lebih mirip litsus yang diterapkan pada saat Orde Baru.
Adapun, kata dia, yang seharusnya ditanyakan terkait dengan KPK tetapi malah tidak ditanyakan. Dalam esai, dia pun diminta menuliskan pendapatnya soal revisi UU KPK. Namun menurutnya, hal ini yang justru tidak sama sekali dibahas saat wawancara.
"Saya menulis apa kegiatan pemerintah yang anda tidak setujui. Ya saat belum disahkan saya mengikuti arahan kelembagaan waktu itu KPK dan komisionernya menganalisis ada 26 kelemahan revisi (UU KPK) gitu, waktu itu ya saya menolak," ucapnya.
"Namun berbeda saat sudah disahkan. Saya kira yang TMS juga ketika sudah disahkan, apalagi kasatgas-kasatgas yang di penegakan hukum, itu mereka menjalankan sesuai UU 19 Tahun 2019 kalau tidak kan bisa dipraperadilankan," ujarnya.
TWK Skenario Jahat
Pegawai pertama menduga bahwa TWK akan digunakan untuk menyingkirkan pihak-pihak yang kritis di KPK. Hal itu melihat dari pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan dalam tes tersebut,
"Saya bersama beberapa teman sudah curiga wah apa jangan-jangan tesnya ini nanti digunakan sebagai akal-akalan alias sebuah skenario menyingkirkan orang-orang yang suka protes, orang yang suka mempertanyakan transparansi di internalnya kan gitu," kata dia.
Ia juga mengatakan, TWK ini baru diinformasikan H-5 sebelum pelaksanaan. Sosialisasi dinilai sangatlah minim.
"Ketika TWK ini sendiri pun pas mau tes ada keanehan. Misalnya minggu depan ada TWK nih, kabar tesnya itu baru H-5. Kurang dari seminggu. Baru ada kabar resmi kalau pegawai harus ikut TWK semuanya. Kita juga ada sosialisasinya terkait TWK tapi saya nilai ala kadarnya saja ada sosialisasi karena di dalamnya tanya jawabnya tidak memuaskan," ucapnya.
Ia pun menilai pihak pimpinan tidak terbuka. Konsekuensi TWK juga tidak dibeberkan oleh pimpinan KPK.
"Kita tanya ke pimpinan struktural mereka itu hanya jawab 'ah masa sih TWK doang enggak lulus bisalah bisalah' itu doang. Bahkan kalau kata pak Ketua sendiri, 'kalau enggak PD takut enggak lulus, les sama saya langsung ke lantai 15' malah digituin," ucapnya.
51 Pegawai Dipecat
Rapat koordinasi antara KPK bersama sejumlah kementerian dan lembaga telah digelar untuk membicarakan nasib 75 pegawai ini. Hasilnya, 51 dinyatakan tidak bisa lagi bekerja di KPK. Sementara 24 lainnya akan menjalani pendidikan untuk ditentukan apakah lulus sebagai ASN atau tidak.
Rapat koordinasi dihadiri seluruh pimpinan KPK, Kepala BKN Bima Haria, Menkumham Yasonna Laoly, MenPAN RB Tjahjo Kumolo, serta dari KASN dan LAN. KPK mengeklaim bahwa keputusan itu merupakan kesepakatan bersama.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, hasil tersebut tak sesuai dengan arahan Presiden Jokowi. Sebab, Jokowi sebelumnya sudah menyatakan bahwa TWK tak bisa serta merta menjadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK.
"Pimpinan KPK dan BKN telah nyata-nyata tidak mematuhi instruksi Presiden dengan tetap memberhentikan pegawai KPK baik dengan cara langsung 51 orang serta memberikan mendidik kembali 24 orang tanpa adanya jaminan," kata Yudi. []