OLEH: SALAMUDDIN DAENG
PEMERINTAHAN Joko Widodo (Jokowi) ini kelihatannya sangat ramai dengan isu-isu, namun sebenarnya tidak banyak terobosan yang coba dilakukan mantan Walikota Solo ini dalam mengatasi masalah ekonomi politik Indonesia yang akut.
Parahnya lagi semua yang diusahakan presiden yang menjabat dua periode ini tidak banyak membawa hasil. Berikut catatannya :
Pertama, sebanyak 14 paket kebijakan ekonomi di masa awal pemerintahan gagal menjawab pelemahan ekonomi. Ekonomi Indonesia stagnan di angka 5 persen. Padahal paket-paket kebijakan itu merupakan paket kebijakan neoliberal atau usaha mengobral sumber daya ekonomi Indonesia kepada para pemodal.
Kedua, Proyek Tax Amnesty yang rencana akan menarik uang belasan ribu triliun rupiah yang disimpan oleh konglomerat Indonesia di luar negeri gagal membuahkan hasil.
Tax amnesty atau pengampunan pajak malah menghilangkan atau menghapus piutang negara pada pengemplang pajak kelas kakap.
Ketiga, berbagai megaproyek seperti listrik 35 ribu megawatt, jalan tol, bandara, dan pelabuhan gagal diwujudkan sesuai rencana. Bagian lain mewariskan utang besar karena proyek tidak memenuhi unsur kelayakan. Selain banyak proyek mangkrak, banyak juga yang berakhir sebagai sarang rayap atau rumah hantu.
Keempat, UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang menjadi andalan pemerintah untuk mengerakkan ekonomi terbentur oleh agenda perubahan iklim, perang dagang dan pelemahan harga energi itu sendiri.
Menurut Bank Dunia, revisi UU Minerba tersebut memberikan keleluasaan bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan lebih banyak kegiatan eksplorasi dan menghilangkan segala batasan untuk melindungi ingkungan alam (Ini termasuk penghilangan batas eksplorasi mineral lepas pantai).
Menurut Bank Dunia, meskipun strategi ini dapat menghasilkan keuntungan jangka pendek dalam kegiatan ekonomi secara nasional, hal ini berisiko memperburuk pencemaran sumber daya lahan dan air, deforestasi dan degradasi hutan besar-besaran, serta konflik atas akses ke lahan dengan masyarakat lokal. Tampaknya pihak asing tau bahwa UU minerba ini pesanan oligarki di sekitar pemerintahan dan DPR Indonesia.
Kelima, UU Omnibuslaw atau UU Ciptakerja mendapat penolakan dari Bank Dunia yang mengatakan bahwa UU omnibuslaw akan mengakibatkan memburuknya kehidupan pekerja/buruh, merusak lingkungan hidup dan mengancam kesehatan masyarakat. Sama seperti UU Minerba, UU Omnibuslaw ditenggarai pesanan bandar lokal oligarki di sekeliling kekuasaan.
Keenam, UU 16/2016 tentang Pengesahan paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Namun konsesus internasional terkait perubahan iklim ini malah dilanggar oleh pemerintahan Jokowi.
Sebagaimana diketahui, revisi yang baru-baru ini disetujui atas UU Pertambangan Mineral dan Batubara 2009 membawa risiko pada kredibilitas pemerintahan Jokowi.
Pemerintahan Jokowi sejauh ini gagal merealisasikan komitmen terhadap perjanjian perubahan iklim (COP 21 Paris) padahal telah diratifikasi menjadi UU. Seluruh target penurunan emisi melalui transisi energi, bauran emergi, deforestasi, dll semua gagal membawa hasil sebagaimana yang dijanjikan pemerintah.
Ketujuh, pemerintah enggan melaksanakan UU 5/2020 tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Gukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss (Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters Between The Republic of Indonesia and The Swiss Confederation.
Padahal UU ini dimaksudkan untuk mempidanakan para penjahat keuangan yang menyimpan uang hasil kejahatan keuangannya dalam rekening rahasia di luar negeri. Upaya ini seharusnya jadi kunci dalam pemulihan ekonomi Indonesia yang mengalami krisis anggaran.
Jadi bagaimana Pak Presiden, masih ada jalan untuk berhasil? Agar resesi ekonomi indonesia bisa berakhir dan bapak bisa menyelesaikan pemerintahan sampai 2024 dengan aman?
(Penulis adalah peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)