GELORA.CO - Penerapan ambang batas pencalonan presiden (Presidential threshold) 20 persen perolehan kursi DPR masih mendapatkan sorotan.
Sebabnya, penerapan ambang batas 25 persen suara sah Pemilu itu hanya menguntungkan partai besar dan tidak demokratis.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan,partai besar akan semena-semena menentukan siapa yang akan diusung pada setiap pilpres.
"Masyarakat akhirnya harus menerima capres dan cawapres yang diputuskan partai besar," demikian kata Jamaludin dalam keterangannya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (24/5).
Selain itu, partai politik gurem harus mengikuti kehendak partai besar meskipun mereka bisa jadi punya calon yang lebih baik.
"Akibatnya pasangan yang diajukan pada setiap Pilpres menjadi terbatas. Celakanya pasangan yang maju kerap kali tidak diharapkan sebagian masyarakat karena pertimbangan banyak hal," kata Jamaludin.
Dampak dari sistem itu, kata Jamaludin masyarakat harus dipaksa menerima calon presiden yang telah diputuskan oleh partai besar.
Dampak lainnya, kata Jamaludin, akan menutup peluang anak bangsa yang mumpuni menjadi Capres. Padahal, banyak stok anak bangsa di luar kader partai yang juga layak mendapatkan peluang sebagai kontestan Pilpres.
"Jadi, PT yang tinggi itu membuat proses rekrutmen calon menjadi tidak demokratis. Orang-orang yang jauh dari partai peluangnya menjadi tertutup untuk maju pada pilpres," demikian analisa Jamaludin. (RMOL)